perlawanandari rakyat, seperti Perang Diponegoro dan Perang Padri yang juga menguras keuangan Belanda. 3. Kas negara Belanda kosong dan utang yang ditanggung jembatan, dan waduk. Selain itu, rakyat Belanda cukup berat. masih dibebani pajak yang berat, sehingga sebagian besar penghasilan 4.
Jihadperiode pertama dimulai dengan perlawanan antara kaum Padri dengan kaum Adat, dan Kaum Padri berhasil mendirikan daerah basis pemerintahan di Bonjol yang menjalankan Syariat dan membawa kemakmuran di Minangkabau. Periode kedua, kaum Adat yang beragama Islam meminta bantuan Belanda, namun mereka mendapatkan kekejaman dari Belanda.
ThomasMatulessy ini kemudian mendapat gelar Pattimura. Jadi ada beberapa latar belakang terjadinya perlawanan Pattimura di Saparua, yaitu : Tindakan sewenang-wenang Pihak Kolonial Belanda yang menyengsarakan rakyat seperti kerja paksa, penyerahan paksa ikan asing, kopi dan rempah-rempah.
maupunskala besar seperti perang Aceh, perang Padri, perang Diponegoro, perang Pattimura. Berbagai perjuangan itu jelas masih bersifat lokal kedaerahan dan nasionalisme belum terbentuk secara konkrit. Nasionalisme Indonesia mulai muncul dalam bentuk yang konkrit pada abad XX di mana
Tahun1811 Herman Willem Daendels ditarik ke Belanda, karena menyengsarakan rakyat dan menimbulkan perlawanan di berbagai daerah, dan diganti dengan Jansens Tahun 1811 Inggris menyerang Batavia dipimpin Lord Minto dan tanggal 18 September 1811 Jansens menandatangani Kapitulasi Tuntang yang berisi penyerahan Batavia kepada Inggris
Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd Nợ Xấu. Sejarah Perang Padri Padri 1821-1837 dan Latar Belakang Perang Padri dan penyebab perang Padri Di wilayah Minangkabau ada beberapa orang yang kembali dari Mekkah Haji dan akan mengadakan pelaksanaan hidup sesuai ajaran agama yang murni dibanting. Mereka kembali dari ziarah yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piabang, mereka sayap Wahabi Menurut ajaran banyak agama adat Sumatera Barat Minangkabau harus ditinggalkan seperti minum, minum anggur, sabung ayam, judi , dan lain-lain seperti contoh negara Padri untuk mengajarkan Islam secara murni untuk menghilangkan adat istiadat yang buruk itu telah mendapat tantangan yang sangat besar dan pemimpin masyarakat adat dan bangsawan. Oleh karena itu, pertempuran antara Padri dengan penduduk asli tidak dapat dielakkan. Dalam perang Padri seperti itu mengenakan pakaian putih disebut putt dan orang pribumi mengenakan pakaian hitam seperti tujuan dari negara netralAsal Mula Perang PadriPerang Padri adalah perang yang berlangsung bertahun-tahun 1821-1837 perjalanan sekitar 26 tahun Perang Padri, Dalam perang-perang ini memiliki berbagai perjanjian, dan perjuangan Perang Padri berasal dari orang-orang di Sumatera Barat Minangkabau. Nama Perang Padri yang diambil dari kota di Sumatera bagian barat dan berbagai bahasa asing untuk membentuk nama Perang Padri, dalam pertempuran ini memiliki tahapan yang membuat Perang Padri sangat panjang seperti blok barat dan blok timur. Dalam Perang Padri terkenal nama yang sangat terkenal karena keberaniannya untuk menegakkan kebenaran dan meluruskan jalan menuju agama yang merupakan sosok yang sangat penting dalam perang. Mengetahui lebih jelas tentang Sejarah Perang Padri, kita melihat diskusi di bawah iniPerjuangan rakyat di Sumatera Barat Minangkabau melawan Belanda sering disebut Perang Padri yang berlangsung dan tahun asal nama Padri ada dua pendapat yaituPedir atau Pideri adalah kota kecil di pantai barat Sumatera Utara tempat mereka pergi dan pulang dan Portugis. Padre atau di Vader Belanda berarti “Bapa” atau “Pendeta”. Jadi dengan Padri seperti itu adalah Padri dapat dibagi atau menjadi tahap terakhir, yaituPadri melawan pribumi dan BelandaPadri dan penduduk asli melawan Perang PadriDalam pertempuran di Padri kemenangan pertama di mana-mana, sehingga posisi Anda adat dengan sangat mendesak. Karena adat istiadat sangat mendesak dengan para pemimpin adat yaitu raja Suroso diperintahkan untuk meminta batu-batu ke Belanda di Padang. Permintaan ini sangat menyewakan Belanda, karena kemudian Belanda dapat memperluas kekuasaannya ke wilayah Minangkabau. Pada tahun 1824, Belanda dan Padris membuat perdamaian membuat perjanjian yang berbunyi perjanjian MasangPenentuan perbatasan di kedua seharusnya hanya melakukan perdagangan dengan ternyata Belanda tidak dapat memenuhi perjanjian yang telah dibuatnya, sehingga perang tidak dapat dihindari lagi / berkobar lagi. Masyarakat Minangkabau dengan giginya sangat menentang serangan Belanda dengan menggunakan senjata modernAkhirnya masyarakat pribumi menyadari bahwa Belanda sebenarnya tidak benar-benar / berkeinginan untuk membantunya, tetapi ingin menjajah seluruh wilayah Minangkabau Sumatera Barat. Ini dibuktikan oleh tindakan Belanda seperti yang disebutkan di bawah ini Tindakan Belanda Orang Minangkabau dipaksa bekerja demi kepentingan Belanda tanpa diberi Minangkabau diharuskan membayar cukai dan cukai pasar menyadari kesalahannya, masyarakat adat penduduk pribumi kemudian bersekutu / padre bergabung dengan partai untuk berperang melawan Belanda. Dengan bergabungnya suku dan Padri perang melawan Belanda semakin menjadi intens dan mencakup seluruh wilayah Belanda menderita kerugian besar. Kemudian setelah Belanda berhasil menyelesaikan perang Diponegoro, maka semua pasukannya dikirim ke Sumatera Barat untuk menghadapi perlawanan masyarakat Sumatera mendapat bantuan dari pulau Jawa, Belanda berhasil menduduki pertahanan rakyat Minangkabau Sumatera Barat. Bahkan pada tahun 1837 pusat perjuangan Padri di Bonjol berhasil dikendalikan oleh Belanda. Tetapi Tuanku Imam Bonjol bersama para pengikutnya melarikan diri dari penangkapan Belanda dan melanjutkan perjuangan. Tetapi pada tahun itu juga Tuanku Iman Bonjol ditangkap oleh Belanda dan diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon dan kemudian ke Minahasa dan meninggal pada tahun 1855. Ketika perang Padri berakhir dan Minangkabau Sumatra Barat jatuh ke tangan Paderi juga disebut Perang Minangkabau telah berjuang dari 1803 sampai 1837 di Sumatera Barat, Indonesia antara Padri dan Adats. “Padris” adalah ulama Muslim dari Sumatra yang, terinspirasi oleh Wahabisme dan setelah kembali dari Haji , ingin memaksakan Syariah di negara Minangkabau di Sumatera Barat , Indonesia . “Adats” terdiri dari bangsawan Minangkabau dan kepala tradisional. Yang terakhir meminta bantuan dari Belanda, yang campur tangan dari tahun 1821 dan membantu kaum bangsawan mengalahkan faksi Padri. The Padri ingin memurnikan tradisi dan dianggap bahwa Perang Padri benar-benar dimulai pada tahun 1803, sebelum intervensi Belanda, dan merupakan konflik yang pecah di negara Minangkabau ketika kaum Padri mulai menekan apa yang mereka anggap sebagai kebiasaan tidak islami, yaitu adat . Tetapi setelah pendudukan Kerajaan Pagaruyung oleh Tuanku Pasaman, salah satu pemimpin Padri pada tahun 1815, pada tanggal 21 Februari 1821, bangsawan Minangkabau membuat kesepakatan dengan Belanda di Padang untuk membantu mereka melawan kelompok padri seperti fungsi dan tujuan sebagai hukum adat disebut di Indonesia, termasuk adat, praktek agama pra-Islam dan tradisi sosial dalam adat setempat. Kaum Padri, seperti jihadis kontemporer di Sokoto Khilafah Afrika Barat, adalah Islamis puritan yang telah melakukan haji ke Mekah dan kembali terinspirasi untuk membawa Alquran dan shariah ke posisi pengaruh yang lebih besar di Sumatera. Gerakan Padri telah terbentuk pada awal abad ke-19 dan berusaha untuk membersihkan budaya tradisi dan keyakinan yang dianggap partisan sebagai tidak Islami, termasuk kepercayaan rakyat sinkretik, sabung ayam dan tradisi matrilineal tahun 1820-an, Belanda belum mengkonsolidasikan harta mereka di beberapa bagian Hindia Belanda kemudian Indonesia setelah memperolehnya kembali dari Inggris . Ini terutama terjadi di pulau Sumatra, di mana beberapa daerah tidak akan berada di bawah kekuasaan Belanda sampai abad ke-20. Keterlibatan Belanda dalam perang terjadi karena itu “diundang” oleh faksi Adat, dan pada bulan April 1821, pasukan Belanda menyerang Simawang dan Sulit Air di bawah kapten Goffinet dan Dienema atas perintah James du Puy, Residen Belanda di Padang. Antara 1821–1824, pertempuran terjadi di seluruh wilayah, berakhir hanya oleh Perjanjian Masang. Perang itu mendingin selama enam tahun berikutnya, ketika Belanda menghadapi pemberontakan berskala besar di Perang PadriJika kita membahas tentang bagaimana tahapan pedang padri maka ini akan terdiri dari 3 tahapan yaitu1. Tahapan I yang terjadi dari tahun 1803 hingga 1821Ini merupakan tahapan awal peperangan yang memang terjadi murni dari masalah atau merupakan perang saudara tanpa adanya campur tangan dari pihak amanapun dan ini juga bukan perang yang menjadi tanggung jawab dari pihak Belanda. Kemudian perang padri berlanjut saat para pengemuka adat meminta bantuan dari para kaum Belanda hingga peperangan kembali terbuka dan pecahlah perang padri yang dimulai untuk melawan Tahap II yang terjadi pada tahun 1822 hingga 1832Ini merupakan tahapan pereangan dimana kaum padri terlihat mulai melemah dan melakukan perjanjian dengan kaum belanda. Dimana belanda menghadapi kesulitan baru tahun 1825, ditandai dengan adanya perlawanan di daerah Jawa yang dipimpin oleh pangeran Diponegoro. Ini merupakan perjanjian Masang yang ditandatangani pada tahun 1825. Dimana ini merupakan perjanjian akibat melemahnya dan terbatasnya kekuatan militer yang dimiliki oleh kaum belanda atas perlawanan kedua belah pihak yaitu perlawanan yang di pimpin oleh Tuanku Diponegoro di Jawa dan Perang Padri di Sumatera. Ini merupakan perjanjian atas adanya gencatan senjata dan kedua belah pihak sepakat mengakhiri sementara peperangan tersebut hingga akhirnya Belanda kembali menyerang kaum padri sesaat setelah mereka menyelesaikan misi perperangan dengan kaum Diponegoro dan perang ini dipimpin oleh Kolonel Ellout di tahun 1831. Kemudian perang juga dilanjutkan oleh kaum Belanda yang dipimpin oleh Mayor Tahap III yang terjadi pada tahun 1832 hingga 1838Ini merupakan perang puncak dari perang Padri, dimana tahun 19831 semua rakyat minang kabau dan kaum padri melakukan penyerangan dengan menyeluruh terhadap para kompeni Belanda dan menjadi salah satu perang semesta yang melegenda. Tuanku Imam Bonjol melakukan pengungsian dari Bonjol ke Marapak karena tanggal 16 Agustus di tahun 1837, Bojol dikuasai secara keseluruhan oleh pemerintah Belanda. Perang padi ini berakhir dengan penangkapan dari Tuanku Imam Bonjol yang pada akhirnya diasingkan ke Cianjur dan pada tahun 1389 dia dipindahkan ke daerah Padri, atau kaum Muslimin ingin memberlakukan Hukum Syariah di Sumatera Barat tetapi ditolak oleh Adat, atau orang-orang yang masih menjunjung tinggi tradisi. Kaum Padri ingin melarang tradisi yang tidak islami termasuk sabung ayam dan perjudian. Sekitar tahun 1820-an, Adat , yang terpojok oleh kaum Padri , mencari kesetiaan dengan penjajah Belanda, yang juga mulai memasuki wilayah Sumatra. Pada 1833, Padri dan Adat mulai berdamai dan melawan Belanda bersama. Taktik gerilya digunakan melawan Belanda. Perang ini dipimpin oleh Tuanku Imam memiliki benteng yang sangat kuat menanjak yang sangat sulit bagi Belanda untuk dilanggar. Belanda berusaha mengambil alih benteng dari 1835 ke 1837. Pada serangan terakhir mereka, mereka berhasil menembus benteng dan memaksa Tuanku Imam Bonjol untuk melarikan diri. Oktober 1837, Belanda mengundang Tuanku Imam Bonjol untuk bernegosiasi. Tapi ini adalah tipuan dan dia ditangkap ketika dia menghadiri negosiasi. Namun, penangkapan itu tidak menghentikan perang. Tidak sampai benteng terakhir dikompromikan pada tahun Peperangan Kaum PadriPadri adalah perang terpanjang yang berlangsung antara 1803 dan 1838, melibatkan sesama orang Minangdan Mandailing atau Batak. Awalnya perang bisadikatakan perang saudara di Sumatra, antara kaum padri dan kepala suku lokal Pagaruyung. Perang Padri awalnya melibatkan pimpinan Padri oleh penguasa Pasaman, yang kemudian menyerang kepala suku setempat yang dipimpin oleh Sultan Arifin Muningsyah. Mereka akhirmya tertekan keras dan dipaksa melarikan diridariotoritasnya, Sultan Arifin Muningsyah memintabantuan dari Belanda. Secara resmi, Belanda membantu kepala suku lokal untuk melawan Padri melalui perjanjian yang ditandatangani pada tahun tersebut menyatakan bahwa Belanda akan mendapatkan penguasaan wilayah tersebut diinterior Belanda ikut campur dalam Perang Padri, mereka punyakesulitan dalam pengunduran diriPadri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol. Mereka sepuluh mengundang Tuanku Imam Bonjol untuk perjanjian pada tahun 1824. Namun, perjanjian itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 1833, Perang Padri memiliki babak baru, kepala suku lokal memutuskan untuk bersatu denganPadri danberperang melawan Belanda. Belanda mengepung dan menyerang benteng Padri Bonjol yang dapat dikendalikan oleh Belanda pada tanggal 16Agustus menangkap Tuanku Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri, Belanda berpura-pura mengundangnya untuk negosiasi di Palupuh pada bulan Oktober 1837. Selama negosiasi, Tuanku Imam Bonjolditangkap dan kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Dari Cianjur, ia kemudian dibawa ke Ambon sampai kemudian pindah keMinahasa, Langkan di daerah Manado. Sejak itu,Perang Padri Kaum BelandaKonflik pecah lagi di tahun 1830 dengan kemenangan awal Belanda. Segera setelah itu, perang berpusat pada Bonjol, benteng pertahanan terakhir Padris yang dibentengi. Akhirnya jatuh pada tahun 1837 setelah dikepung selama tiga tahun, dan bersama dengan pengasingan pemimpin Padri Tuanku Imam Bonjol , konflik punah. Selama fase terakhir dari konflik, sebagian besar faksi adat, karena kebrutalan dan korupsi dari belanda dan kebangkitan agama mereka sendiri, kemudian bergabung dengan puing-puing dalam menghadapi kemenangan itu, Belanda memperketat kendali mereka di Sumatera Barat. Namun ada warisan positif bagi penduduk asli Minang setelah perang, para pemimpin tradisional dan agama semakin menyatukan visi mereka. Ini membantu menyebarkan pandangan baru “adat basandi syara syara’ basandi Kitabullah tradisi didirikan pada Islam hukum, hukum Islam yang didirikan pada Qur’an. Ada kesamaan antara gerakan pelaksanaan pemurnian hukum Islam di awal abad 21 yang dilakukan oleh kelompok-kelompok Islam yang diorganisasi dalam organisasi-organisasi massa Islam Organization yang menyebut dirinya sebagai Front Pembela Islam, Jamaah Salafi / Wahhabi, Hizbut-Tahrir, Jama ah Tabligh, Laskar Jihad, Jamaat Al Muslim Jamus, dan yang lainnya dengan implementasi gerakan pemurnian hukum Islam yang dilakukan oleh Padri pada awal abad ke-19 di dataran tinggi pulau Sumatra tengah, yang biasa dikenal sebagai pemimpin kedua gerakan agama ini pada waktu yang berbeda mengenakan serban putih yang sama, gaya berpakaian para mullah seperti di Timur Tengah. Pemimpin dari dua gerakan keduanya berasal dari luar, Padris dipimpin oleh seorang migran Maroko bernama Peto Syarif yang kemudian dikenal sebagai Tuanku Imam Bonjol yang telah lama menetap di Bonjol, sehingga jihad paramiliter di abad ke-21 seperti Organisasi Pembela Islam atau Fron Pembela Islam FPI juga dipimpin oleh putra seorang migran dari Yaman Selatan, Habib Risyiq yang datang ke Indonesia pada tahun 1935. Jika gerakan Padri ditujukan untuk masyarakat terorganisir dalam pemerintahan daerah Minangkabau, pada awal abad ke-21, gerakan keagamaan ini terjadi pada orang-orang yang berada dalam bingkai pemerintah persatuan Nasional Indonesia. gerakan Padri ditujukan untuk masyarakat terorganisir dalam pemerintahan daerah Minangkabau, pada awal abad ke-21, gerakan keagamaan ini terjadi pada orang-orang yang berada dalam bingkai pemerintah persatuan Nasional Indonesia. 2008. Jika gerakan Padri ditujukan untuk masyarakat terorganisir dalam pemerintahan daerah Minangkabau, pada awal abad ke-21, gerakan keagamaan ini terjadi pada orang-orang yang berada dalam bingkai pemerintah persatuan Nasional Indonesia. Keduanya bertindak radikal dalam menyelesaikan berbagai masalah orang yang tidak sesuai dengan hukum Islam. Islam radikal memahami yang ingin melakukan perubahan sosial dan politik dan menggantinya dengan hukum Islam. Kemudian, dari studi tentang perubahan ekonomi di Minangkabau adalah sebagai faktor dalam munculnya gerakan Padri dari 1784 hingga dijelaskan bahwa setiap gerakan yang dilakukan oleh radikal bukan hanya misi untuk berpartisipasi dalam memecahkan berbagai masalah bangsa, tetapi juga memiliki misi ekonomi dan politik yang menyamar. Pandangan yang sama juga diungkapkan bahwa misi agama terbalik juga menyertai misi ekonomi dan politik. Seperti gerakan Padri di Minangkabau, Pada tahap awal bertujuan untuk memurnikan penerapan hukum Islam untuk perilaku kehidupan publik yang terlihat sudah jauh, tetapi pada akhirnya juga bertujuan untuk berpartisipasi dalam dewan Adat adat Nagari kabupaten atau dewan pemerintahan nagari. Kemudian, hal ini juga sejalan dengan hasil bahwa gerakan Padri dalam perkembangan ekonomi berikutnya juga bertujuan untuk mengendalikan pusat perdagangan komoditas kopi yang tumbuh subur di dataran tinggi dengan perlambatan ekonomi di kerajaan Pagarruyung yang awalnya tergantung pada perdagangan emas dan lada, kekuatan ekonomi bergeser ke komoditas kopi yang terpusat di Agam telah menjadi perjuangan untuk pengaruh antara komunitas Ulama dengan consuetudecommunity. Para ulama ingin mengendalikan lalu lintas perdagangan kopi antara kawasan daratan darek Minangkabau dengan pedagang Belanda yang berkonsentrasi di pelabuhan penting di Muara Padang, Pariaman, dan Tiku. Kemudian, gerakan Ulama, yang biasa disebut Padri, di mana pengaruhnya telah banyak menyebar untuk lebih luas daripada pengaruh Komunitas Consuetude. Di sekitar wilayah itu ingin berpartisipasi dalam lembaga-lembaga politik pemerintah di nagari distrik yang juga disebut Konsili Perlawanan Perang PadriWalaupun kemenangan dari perang padri ini didapati oleh belanda dengan cara yang tidak baik alias dengan cara yang curang, tetap saja perang padri dan kaum Padri yang kala itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol kalah. Semenjaka adanya penangkapan oleh Belanda untuk Tuanku Imam Bonjol maka perang dinyatakan usai dan telah berakhir. Karena dengan dikuasainya daerah Bonjol oleh para pejuang dan prajurit belanda segera setelah itu Benteng di Bonjol juga disreang dan ditaklukan. Sebenarnya Belanda dan kaum padri sempat mengadakan perjanjian perdamaian namun pada tanggal 12 Agustus Belanda kembali menyerang dan perjanjian damai tidak lagi berlaku hingga perang tetap berjalan dan tentu saja Belanda selalu melakukan taktik licik dan merugikan siapa saja termasuk para pemimpin dan kaum Padri Belanda memerlukan perlawanan yang sengit dan sebenarnya butuh waktu yang lumayan lama bagi mereka agar bisa menaklukan daerah Bojol dan benteng disana. Namun tetap saja perlawanan dari kaum padri dan meriam tidak bisa menghentikan perlwanan dari kaum belanda. Bahkan korban kian banyak berjatuhan saat melakukan perang jarak dekat dengan cara bertempur satu per satu dengan pasukan Belanda. Inilah yang membuat para prajurit minangkabau dan kaum padri kian terpojok dan sulit melanjutkan dan meraih kemenangan. Walaupun penangkapan pemimpin yakni Tuanku Imam Bonjol telah terjadi pada 25 Oktober tahun 1937 teteap saja perlawanan kaum Padri berlanjut. Tuanku Tambusai memimpin perlawanan tahun 1838. Namun sayangnya perlawanan tersebut tetap saja mengalami kekalahan dan akhirnya kaum Padri kalah dalam perperangan tersebut. Ini merupakan perjuangan panjang yang dilakukan demi menaglahkan kekuatan belanda dalam menaklukan daerah minangkabau dan sekitarnya. Dan kaum padri telah melakukan perlawanan yang sengit dalam pertempuran yang lama tersebut.
- Perang Padri adalah perang saudara yang pernah terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang kini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Latar belakang sejarah Perang Padri berawal dari masalah agama Islam dan adat, sebelum penjajah Belanda ikut campur antara sesama orang Minang ini berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi, tepatnya dari tahun 1803 hingga 1838. Ada beberapa golongan yang terlibat, yakni kaum Padri kelompok agamis, kaum adat, serta Belanda yang kemudian menerapkan taktik licik untuk memecah-belah rakyat akhirnya, peperangan ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajah Belanda yang dimotori oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai, Tuanku Nan Renceh, dan Belakang Perang Padri Sejarah atau latar belakang Perang Padri dimulai pada 1803 ketika tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah usai menjalankan ibadah haji di tanah suci. Mereka dikenal dengan nama Haji Miskin, Haji Sumanik, dan Haji Piobang. Tulisan Azyumardi Azra dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern 'Ulama' in the Seventeenth and Eighteenth Centuries 2004, menyebutkan, ketiga haji ini awalnya berniat memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum sepenuhnya dijalankan. Seorang ulama bernama Tuanku Nan Renceh tertarik untuk ikut andil dan mendukung niat ketiga haji yang baru saja pulang dari tanah suci itu. Akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan mengajak orang-orang lain untuk turut serta. Mereka tergabung dalam kelompok bernama Harimau nan nan Salapan meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang Pagaruyung, Sultan Arifin Muningsyah, dan kerabat kerajaan bernama Tuanku Lintau, untuk bergabung dan meninggalkan kebiasaan adat yang tidak sesuai dengan syariat Dipertuan Pagaruyung tampaknya kurang sepakat. Sultan Arifin Muningsyah masih tidak ingin meninggalkan tradisi atau kebiasaan yang telah dijalankan secara adat sejak dulu di dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ada beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti sabung ayam, judi, serta minum minuman keras, padahal masyarakat adat saat itu sudah banyak yang memeluk agama ini sebenarnya tidak sesuai dengan mayoritas masyarakat Kaum Adat yang beragama Islam. Menanggapi hal ini, kaum Padri atau kelompok agamis terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan itu sekaligus dengan misi melaksanakan amar ma’ruf nahi juga Sejarah Matinya Si Pemecah-Belah Cornelis Speelman Ahmad Khatib Datuk Batuah Haji Kiri, Istikamah di Jalur Merah Sejarah Kerajaan Sriwijaya & Pusat Pengajaran Agama Buddha Kronologi & Tokoh Perang Padri Peperangan antar saudara di ranah Minang pun tak terelakkan. Pada 1803, seorang tokoh ulama bernama Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri ke Kerajaan Pagaruyang. Perang ini menyebabkan Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Tahun 1815, golongan Padri yang digalang Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Beberapa tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan di antaranya adalah Tuanku Nan Receh, Tuanku Pasaman, Tuanku Rao, Tuanku Tambusai, Tuanku Lintau, Tuanku Mansiangan, Tuanku Pandai Sikek, dan Tuanku semakin terdesak, orang-orang dari golongan Adat kemudian meminta bantuan kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda yang saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk 4 Maret 1822, pasukan dari Hindia Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel Raff berhasil mengusir kaum Padri dari Kerajaan Pagaruyung. Di Batu Sangkar, Raff membangun benteng pertahanan yang bernama Fort Van der Capellen. Tepat 10 Juni 1822, pasukan Raff yang bergerak dihadang oleh laskar kaum Padri, namun Belanda berhasil melanjutkan perjalanannya ke Luhak Agam. Pertempuran di daerah Baso terjadi pada 14 Agustus 1822. Kapten Goffinet dari pihak Belanda mengalami luka berat dan akhirnya wafat pada 5 September juga Inilah Srikandi Aceh Penerus Cut Nyak Dhien Pocut Baren Hari-Hari Terakhir Perlawanan Cut Nyak Dhien Berondongan Peluru Mengakhiri Siasat Jitu Teuku Umar Perlawanan orang-orang Minangkabau dari kelompok Padri membuat Belanda terdesak hingga akhirnya memutuskan kembali ke Batu Sangkar. Pada 13 April tahun berikutnya, Raff kembali menyerang ke daerah Lintau, markas pertahanan kaum Padri. Pertempuran ini terjadi amat sengit hingga menyebabkan Belanda mundur pada 16 April 1823. Raff kemudian meminta Sultan Arifin Muningsyah untuk datang ke Kerajaan Pagaruyung. Akan tetapi, pada 1825, sang sultan wafat. Tanggal November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata sembari meracik strategi licik berupa Perjanjian Masang. Belanda saat itu sedang kewalahan dan kehilangan banyak sumber daya untuk membiayai beberapa perang lain, termasuk perang melawan Pangeran Diponegoro di masa gencatan senjata inilah Tuanku Imam Bonjol yang notabene adalah salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat untuk bersatu karena lawan yang sesungguhnya adalah penjajah Belanda. Buku Muslim Non Muslim Marriage Political and Cultural Contestations in Southeast Asia 2009 yang disusun oleh Gavin W. Jones dan kawan-kawan, menuliskan, perdamaian dan kesepakatan untuk bersatu antara kaum Padri dan kaum Adat akhirnya damai yang diadakan di Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, ini dikenal dengan nama "Plakat Puncak Pato". Hasilnya adalah perwujudan konsensus bersama yakni Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, yang artinya adat Minangkabau berlandaskan kepada agama Islam, sedangkan agama Islam berlandaskan kepada Al-Qur' juga Akhir Derita Tuanku Imam Bonjol di Tanah Pembuangan Ekspedisi Maut di Gayo Sejarah Belanda Membantai Rakyat Aceh Imajinasi Atas Makkah yang Memantik Perang Padri Berakhirnya Perang Padri Setelah Perang Jawa berakhir pada 1830 dan ditangkapnya Pangeran Diponegoro dengan siasat licik, Belanda kembali memusatkan fokus ke Minangkabau. Pasukan kolonial membangun benteng di Bukittinggi bernama Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang oleh pasukan gabungan kaum Padri dan kaum Adat. Menyadari hal tersebut, Belanda mengatur siasat kembali. Belanda berdalih bahwa kedatangan mereka hanya untuk berdagang dan menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi-lagi, Belanda menerapkan siasat licik yang berujung pada penangkapan Tuanku Imam Bonjol pada 1837 yang kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, lalu Minahasa hingga wafat di kembali berkobar. Kali ini Belanda lebih unggul dan pada 1838 berhasil menembus pertahanan terakhir rakyat Minangkabau di Dalu-Dalu yang dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan beberapa pengikutnya yang selamat pergi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. Kehilangan banyak tokoh pemimpin, kekuatan Minangkabau pun melemah dan Belanda pun berkuasa setelah memenangkan perang. - Sosial Budaya Kontributor Yuda PrinadaPenulis Yuda PrinadaEditor Iswara N Raditya
Perang Padri merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat pada masa pendudukan Belanda. Namun, tahukah kamu kalau awal mula permasalahannya berasal dari peperangan antar saudara? Kalau penasaran ingin mengetahui ulasannya lebih lanjut, mending langsung cek saja artikel sejarah Perang Padri berikut masa pendudukan Belanda, terjadi perlawanan rakyat di berbagai daerah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan karena kehidupan rakyat yang semakin menderita. Salah satu perlawanan dalam sejarah pendudukan Belanda berasal dari Sumatra Barat yang kemudian dikenal dengan Perang perang tersebut sudah terjadi mulai tahun 1803. Pada mulanya merupakan pertempuran sesama saudara. Akan tetapi, Belanda masuk dan membuat permusuhan itu semakin kemudian, kedua belah pihak yang bertempur itu menjadi satu dan berbalik melawan Belanda. Kira-kira seperti apa kronologinya? Daripada kebanyakan basa-basi, kamu bisa langsung saja membaca sejarah lengkap Perang Padri di bawah ini, ya!Sejarah Latar Belakang Terjadinya Perang Padri Kaum AdatSumber Wikimedia Commons Sebelum membahas lebih lanjut mengenai sejarah perang antara rakyat Sumatra Barat melawan Belanda, tidak ada salahnya untuk menyimak latar belakang terjadinya peristiwa tersebut. Salah satu peperangan terlama di Indonesia tersebut bermula dari perseteruan antara kaum Padri dan kaum Adat. Terbentuknya Kaum Padri dan Kaum Adat Latar belakang sejarah bermulanya Perang Padri bermula dari berkembangnya paham Wahabi yang dipelajari oleh pemuka agama atau kaum terpelajar. Baik itu pada saat menunaikan ibadah haji atau memang berniat untuk belajar agama di Arab Saudi. Sepulangnya dari sana, orang-orang tersebut mengalami banyak perubahan. Tidak hanya cara berpakaian yang mengenakan jubah seperti orang Arab saja. Akan tetapi, perubahan terlihat jelas dalam perilaku mereka sehari-hari. Nah, jubah yang dikenakan tersebut kemudian digunakan sebagai identitas yang membedakan pemuka agama dengan rakyat biasa maupun orang-orang Belanda. Dengan kata lain, jubah tersebut merupakan penanda bagi orang yang memiliki tingkatan ilmu agama Islam yang tinggi. Sekitar tahun 1800-an, agama Islam mengalami perkembangan yang bisa dibilang sangat pesat. Hal tersebut kemudian memunculkan dua kubu di masyarakat yang sangat kuat, yaitu kaum Padri dan kaum Adat. Kaum Padri adalah golongan pemuka agama. Mengenai asal-usulnya namanya, padri berasal dari bahasa Spanyol, yaitu “padree” yang berarti pemuka agama. Golongan ini mengemban tujuan mulia untuk menyebarkan agama Islam di Minangkabau, Sumatra Barat. Sementara itu, kubu yang satunya adalah kaum Adat. Sesuai dengan namanya, anggota dari kaum ini adalah mereka yang masih memegang tegus adat istiadat dan tradisi leluhur. Meskipun begitu, sebagian besar dari mereka sudah masuk Islam. Baca juga Mengenal Lebih Dekat dengan Sosok Sultan Suriansyah, Pendiri dari Kerajaan Banjar Munculnya Permusuhan Antara Kaum Padri dan Kaum Adat Sumber Wikimedia Commons Benih-benih perang mulai tumbuh ketika kaum Padri berusaha untuk memurnikan sejarah tradisi atau adat yang tidak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pada waktu itu, tradisi-tradisi yang masih dilakukan oleh kaum Adat memang bertentangan dengan ajaran agama. Contohnya adalah melakukan sabung ayam, suka minum-minuman keras, atau memakai madat. Selain itu, yang membuat kaum Padri miris adalah ibadah wajib tidak dilaksanakan dengan benar oleh kaum Adat. Maka dari itu, para pemuka tersebut ingin mencoba memperbaiki hal tersebut dengan membawa kaum Adat ke arah yang menurut mereka lebih benar. Perdebatan sengit yang lainnya terjadi karena penentuan pembagian waris. Jika menurut budaya Minangkabau yang sudah berlangsung turun temurun, seharusnya pembagian tersebut diambil dari garis keturunan perempuan atau matrilineal. Sementara itu, di agama Islam peraturannya adalah diambil dari garis keturunan laki-laki atau patrilineal. Bahkan, Syekh Ahmad Khatib pun mengutuk budaya matrilineal tersebut. Pada tahun 1803, ada tiga orang haji yang pulang ke Minang. Mereka adalah Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik. Konon, ketiga haji tersebut dulunya pernah menjadi tentara Turki saat terlibat peperangan dengan Kerajaan Prancis. Setelah itu, mereka menemui ulama-ulama yang lain dengan rencana untuk memurnikan rakyat dari adat-adat yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Dari pertemuan tersebut, lahirlah Harimau Nan Salapan. Untuk yang belum tahu, Harimau nan Salapan adalah ulama-ulama yang ditunjuk untuk menjadi dewan untuk membersihkan umat dari adat-adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Anggotanya ada delapan orang, yaitu Tuanku Mansingan, Tuanku nan Renceh, Tuanku Barapi, Tuanku Kapau, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Ladang Lawas, Tuanku Galung, dan Tuanku Padang Luar. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah Era Kerajaan Ternate yang Masih Ada Hingga Sekarang Masalah Semakin Memanas Setelah dewan ulama terbentuk, mereka memulai agendanya untuk “memurnikan” rakyat Minangkabau. Salah satu caranya adalah dengan mengirim seorang ulama bernama Tuanku Lintau supaya membujuk pemimpin kaum Adat untuk sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Sang pemimpin, yaitu Yang Dipertuan Pagaruyung Sultan Arifin Muningsyah, tentu saja tidak terlalu menyukai ide tersebut. Karena sesuai dengan prinsip yang dipegangnya, kalau adat istiadat itu harus dipegang teguh. Perseteruan semakin memanas ketika Haji Miskin yang merupakan salah seorang anggota kaum Padri mulai melarang warga untuk melakukan sabung ayam. Ia pun tidak segan-segan untuk membakar arena sabung ayam. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat marah. Mereka kemudian mengejar dan berusaha menangkap Haji Miskin yang pada saat itu kabur meminta perlindungan kepada Harimau nan Salapan. Pada awalnya, Harimau nan Salapan tersebut melakukan diskusi dengan ulama lain yang bernama Tuanku nan Tuo. Menurutnya, lebih baik memurnikan ajaran Islam dengan menggunakan cara-cara yang halus. Karena kalau menggunakan cara kasar, nantinya malah terjadi peperangan yang tidak akan pernah habis. Namun entah mengapa, pada akhirnya yang disetujui bersama adalah yang menggunakan jalan kekerasan. Maka dari itu, peperangan antar kedua kubu tidak dapat dihindarkan. Baca juga Ulasan Lengkap Mengenai Silsilah Raja-Raja yang Pernah Memimpin Kerajaan Kediri Meletusnya Perang Padri Ilustrasi PerangSumber Wikimedia Commons Menurut catatan sejarah, penyebab meletusnya perang Padri adalah setelah kaum Padri menyerukan jihad untuk melawan kaum Adat. Dengan menggunakan jalur kekerasan, mereka tidak segan-segan untuk membunuh para tetua dan juga membakar rumah-rumah adat. Namun setelah semua itu dilakukan, kaum Adat bergeming. Mereka tetap pada pendirian untuk memegang teguh adat leluhur. Hingga pada tahun 1815, kaum Padri kehilangan kesabaran dan kemudin menyerang Kerajaan Paguruyung. Penyerangan tersebut dipimpin oleh Tuanku Pasaman. Pertempuran hebat pun pecah di Koto Tengah. Kedua kubu tersebut saling serang sehingga banyak sekali korban jiwa berjatuhan. Tak hanya dari rakyat biasa, tetapi juga anggota kerajaan. Karena situasi kerajaan yang sangat kacau, Sultan Arifin Muningsyah kemudian lari untuk menyelamatkan diri. Pasalnya, Istana Paguruyung habis terbakar akibat pertempuran itu dan hanya tersisa puing-puingnya. Mengenai gambaran kondisi tempat tersebut pernah tertulis dalam catatan milik Raffles yang berkunjung ke sana sekitar tahun 1818. Awal Mula Campur Tangan Belanda Kaum Padri tidak kenal lelah untuk melancarkan serangan. Hal tersebut tentu saja membuat kaum Adat menjadi terdesak. Terlebih lagi, Sultan Arifin Muningsyah tidak diketahui keberadaannya. Maka dari itu, dengan diwakili oleh Sultan Tangkal Alam Bagagar, kaum Adat meminta tolong kepada Belanda. Setelah mencapai kesepakatan yang diinginkan, kedua belah pihak secara resmi menandatangani perjanjian itu pada tanggal 21 Februari 1821. Hal tersebut juga berarti bahwa Kerajaan Pagaruyung menjadi milik pemerintah Hinda Belanda. Selanjutnya, Sultan Tangkal Alam diangkat sebagai Regent Tanah Datar. Tak berapa lama kemudian, Belanda mengirimkan pasukannya untuk memukul mundur armada Kaum Padri. Mereka tidak mengirimkan pasukan sampai ke perbukitan hingga pelosok Minang. Pada bulan April 1821, kaum Adat yang berkoalisi dengan Belanda kemudian menyerang wilayah Sulit Air dan Simawang. Penyerangan itu dipimpin oleh Kapten Goffinet dan Kapten Dienema. Pada akhir tahun, dikirimkan lagi pasukan pimpinan Letkol Raff untuk memperkuat pertahanan. Baca juga Bukti Peninggalan-Peninggalan Sejarah dari Kerajaan Gowa-Tallo, Serambi Mekah di Indonesia Timur Peperangan Belanda dan RakyatSumber Wikimedia Commons Gabungan pasukan Belanda dan kaum Adat tersebut baru bisa mengusir pasukan kaum Padri keluar dari Pagaruyung pada tanggal 4 Maret 1822. Kaum ulama itu kemudian menyingkir ke daerah Lintau untuk menyusun rencana pembalasan. Sementara untuk menancapkan kekuasaan, Belanda kemudian membangun Benteng Van De Capellen. Setelah itu, mereka terus melakukan usahanya penyerangan terhadap kaum Padri. Pada awalnya, pasukan Belanda tersebut berhasil membuat kaum ulama kewalahan. Namun, kekuatan mereka melemah ketika Kapten Goffinet meninggal dunia pada bulan September 1822. Hal itu membuat pasukannya harus mundur karena tidak sanggup menghadapi pasukan Padri yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh. Selanjutnya pada bulan April 1823, Letnan Kolonel Raaff mengerahkan pasukan untuk menyerang Lintau. Peperangan ini berlangsung begitu sengit karena kaum begitu gigih menghalau serangan lawan. Karena tidak membuahkan hasil, pasukan Belanda pun kembali ke Batusangkar. Alasan lainnya adalah karena sang pemimpin meninggal dunia. Di tengah kekisruhan tersebut, sekitar tahun 1824 Sultan Arifin tiba-tiba kembali ke Pagaruyung. Namun, kedatangannya tidak terlalu berpengaruh banyak. Hal tersebut dikarenakan setahun kemudian ia meninggal dunia. Pasukan Belanda masih belum mau menyerah dan kemudian melakukan penyerangan yang dipimpin oleh Mayor Frans Laemlin. Pada bulan September 1824, pasukannya berhasil merebut daera Koto Tuo, Ampang Gadang, Kapau, dan juga Biaro. Sayangnya, sang pemimpin pasukan meninggal dunia di akhir tahun 1824 karena luka parah. Baca juga Ulasan tentang Raden Patah, Sang Pendiri Kerajaan Demak yang Masih Keturunan Ningrat Melakukan Gencatan Senjata Melakukan pertempuran dengan Kaum Padri rupanya membuat Belanda merasa kesulitan. Mereka tidak hanya mengerahkan tenaga saja, tetapi juga menghabiskan dana. Belum lagi, mereka juga harus menghadapi perlawanan di wilayah lain. Karena pertimbangan dana yang sudah semakin menipis, akhirnya Belanda berinisiatif untuk melakukan gencatan senjata dengan Kaum Padri. Untuk yang belum tahu, gencatan senjata adalah kesepakatan bersama antar pihak yang berkonflik untuk menghentikan peperangan. Durasinya bisa saja sementara, tetapi juga bisa dalam waktu yang lebih lama. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengutus residennya yang berada di Padang untuk membuat perjanjian gencatan senjata dengan kaum Padri. Pada waktu itu, kaum golongan ulama berada di bawah kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pada tanggal 15 November 1825, kesepakatan antar kedua belah pihak itu resmi ditandatangani. Yang kemudian dikenal dengan nama Perjanjian Masang. Untuk sementara, situasi di Sumatra Barat menjadi lebih terkendali. Akan tetapi, perdamaian tersebut rupanya tidak dapat diterima oleh kaum Adat. Untuk melampiaskan kekecewaaan, mereka kemudian berbalik memusuhi Belanda. Situasi ini kemudian membuat kedudukan Belanda menjadi serba sulit. Pasukan mereka tidak mendapatkan dukungan penuh dari kaum Adat, sementara itu juga tidak dapat menaklukkan Kaum Padri. Tuanku Imam Bonjol Mengajak Kaum Adat untuk Berdamai Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab. Ia diangkat menjadi pemimpin kaum Padri setelah Tuanku Nan Renceh meninggal dunia. Meskipun merupakan anggota ulama, laki-laki tersebut sebenarnya tidak terlalu menyetujui tindakan golongannya yang menyerang kaum Adat. Karena bagaimana pun, mereka masih satu saudara. Makanya ketika menjadi pemimpin dan ada celah untuk berdamai dengan kaum Adat, ia menggunakan kesempatan tersebut dengan sebaik mungkin. Terlebih lagi, situasi Belanda memang sedang lemah. Dirinya ingin menyadarkan bahwa yang menjadi musuh sesungguhnya adalah Belanda. Tuanku Iman Bonjol pun mengundang perwakilan kaum adat ke Bukit Marapalam yang terletak di Kabupaten Tanah Datar. Pada awalnya perundingan kedua kubu memang tidak berjalan terlalu baik. Namun akhirnya, kesepakatan bersama yang diimpikan terjadi juga. Kesepakatan itu diberi nama Plakat Puncak Pato. Isinya adalah untuk mewujudkan adat Minangkabau yang berlandaskan agama Islam, dan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Sejarah yang Membuktikan Keberadaan Kerajaan Banten Sejarah Perang Padri Jilid II Pasukan BelandaSumber Wikimedia Commons Gencatan senjata dalam sejarah Perang Padri yang pertama tidaklah berlangsung lama. Setelah berhasil bangkit dari keterpurukan ekonomi, Belanda pun mengingkari perjanjian yang dibuat. Salah satu alasannya adalah karena mereka ingin menguasai daerah perkebunan kopi di Minangkabau. Kopi merupakan salah satu komoditi andalan milik Belanda. Maka dari itu, mereka ingin menaklukkan kaum Padri supaya lebih leluasa dalam menguasai perkebunan. Sebagai langkah awal, pasukan Belanda kemudian menyerang nagari Pandai Sikek. Selanjutnya, mereka mendirikan sebuah benteng bernama Fort de Kock di Bukittinggi. Dari situ, Belanda terus bergerak untuk menaklukkan daerah-darah basis milik kaum Padri. Tidak hanya daerah Lintau, tetapi juga Luhak Tanah Datar berhasil dikuasai. Hal ini kemudian membuat pihak lawan menjadi kalang kabut. Terlebih lagi, Belanda mendapatkan pasukan tambahan dari Jakarta supaya operasi penaklukkan tersebut bisa berjalan lebih cepat. Setelah bulan Oktober 1832, banyak sekali daerah-daerah yang sudah ditaklukkan oleh Belanda. Kaum Padri terdesak dari mana-nama dan kemudian bertahan di wilayah Bonjol. Pada awal tahun 1833, kubu kaum ulama sempat melakukan balas dendam dengan menyerang benteng pertahanan Belanda. Penyerangan yang dipimpin oleh Tuanku Rao tersebut berhasil melumpuhkan pasukan Belanda. Sayang sekali, kemenangan itu tidak bertahan lama. Karena kalah persenjataan, pasukannya harus terpaksa mundur. Terlebih lagi, sang pemimpin terluka parah karena ditembaki tanpa ampun oleh Belanda. Akhir hidup Tuanku Rao bisa dibilang sangat mengenaskan. Dalam keadaan sekarat, ia ditangkap oleh Belanda untuk diasingkan. Ketika dalam perjalanan ke tempat pembuangan, ia meninggal dunia dan jasadnya di buang ke laut. Serentak Melawan Belanda Peristiwa di atas kemudian semakin menumbuhkan semangat persatuan rakyat untuk mengusir Belanda dari Minangkabau. Seperti yang telah kamu tahu, kaum Padri dan Adat telah setuju untuk menggabungkan kekuatan. Keadaan menjadi semakin memanas setelah banyak benteng pertahanan Belanda diserang. Korban tewas dari kedua belah pihak tentu saja tidak terhindarkan. Di tengah kekacauan tersebut, Belanda menangkap Sultan Tangkal Alam karena dianggap berkhianat. Ia ditengarai ikut menyerang benteng pertahanan milik mereka. Meski sempat menyangkal, ia tetap saja dicopot dari jabatan sebagai Regent Tanah Datar lalu dibuang ke Batavia. Namun dari peristiwa tersebut, pihak Belanda kemudian menyadari kalau kedua kaum yang berseteru itu telah bekerja sama. Untuk sedikit meredam situasi, pemerintah Belanda kemudian mengeluarkan sebuah pengumuman, yaitu Plakat Panjang. Isinya adalah Belanda datang ke sana hanya untuk berdagang, bukan untuk menguasai. Selain itu, mereka akan membangunkan jalan dan sekolah. Tentu saja itu hanya pemanis belaka karena mereka mengharapkan rakyat untuk menanam kopi dan harus menjualnya kepada Belanda. Baca juga Informasi tentang Prasasti Bersejarah Peninggalan Kerajaan Sriwijaya yang Perlu Kamu Ketahui Usaha Penyerangan Benteng Bonjol Wilayah Benteng BonjolSumber Wikimedia Commons Pada tanggal 23 Agustus 1833, Van den Bosch datang ke Padang. Ia menanyakan mengapa penaklukkan di daerah tersebut berjalan begitu lambat. Setelah itu, para petinggi Belanda di Hindia Belanda melakukan pertemuan. Hasilnya adalah sebelum tanggal 16 September 1833, mereka harus sudah menjatuhkan markas utama milik kaum Padri, yaitu Benteng Bonjol. Sementara itu, kaum Padri dan Adat mengetahui mengenai rencana serangan Belanda. Mereka kemudian mengatur siasat perang. Dalam perang Padri kali ini, mereka akan menggunakan taktik serangan gerilya. Ketika waktunya tiba, strategi gerilya tersebut ternyata cukup ampuh untuk menghalau serangan pasukan Belanda. Mereka bahkan bisa merampas persenjataan milik pasukan lawan. Penyerangan kali ini dianggap sebuah kegagalan. Pada tahun 1834, Belanda kemudian fokus untuk membangun infrastruktur jalan menuju Benteng Bonjol. Selain untuk memperlancar mobilitas, gunanya adalah supaya lebih mudah mematahkan strategi gerilya milik lawan. Setelah selesai, pasukan Belanda mulai bergerak untuk menyerang Benteng Bonjol dengan dipimpin oleh Letnan Kolone Bauer. Pertempuran pun pecah di daerah Sipisang yang merupakan daerah basis kaum Padri. Pertarungan yang terjadi selama tiga hari tiga malam tersebut akhirnya dimenangkan oleh Belanda. Pasukan Padri terdesak dan kemudian bersembunyi ke hutan. Daerah itu pun dikuasai dan dijadikan basecamp Belanda untuk sementara. Selanjutnya, Belanda semakin bergerak mendekati Benteng Bonjol. Setelah semakin dekat, mereka kemudian menembaki benteng menggunakan meriam. Baca juga Kisah Lengkap tentang Sultan Maulana Hasanuddin, Sang Pendiri Kerajaan Banten Benteng Bonjol Berhasil Dikepung Pasukan Belanda berhasil mengepung wilayah sekitar Benteng Bonjol yang terletak di atas sebuah bukit bernama Tajadi. Meskipun terkepung, tentu saja kaum Padri tidak menyerah begitu saja. Lagipula, benteng tersebut sudah ditata sedemikian rupa sehingga tidak mudah diambil alih. Untuk semakin menekan pihak lawan, Belanda kemudian memblokade semua akses yang menuju ke benteng tersebut. Pada awalnya, mereka bertujuan untuk menghentikan pasokan senjata dan makanan. Namun, hal tersebut malah menjadi boomerang. Pasalnya, kaum Padri akhirnya secara diam-diam mengambil perbekalan milik Belanda. Selain itu, kaum ulama tersebut tetap mendapatkan bala bantuan dari simpatisannya yang berada di luar wilayah benteng. Pertarungan yang sengit antara kedua kubu terus terjadi. Pada bulan Agustus 1935, pihak Belanda menyerang benteng setelah mendapatkan bantuan dari Bugis. Selanjutnya, serangan itu dibalas oleh kaum Padri dengan menyerang markas pertahanan Belanda sebulan kemudian. Kedudukan mereka masih sama-sama kuat sehingga keadaan bertahan seperti itu selama beberapa waktu. Akan tetapi, keadaan itu pula yang pada akhirnya membangkitkan semangat juang dan keberanian rakyat di sekitar benteng untuk menyerang Belanda. Tidak main-main, mereka bahkan berhasil membuang bangsa penjajah itu menjadi kewalahan. Baca juga Peninggalan-Peninggalan Bersejarah Milik Kerajaan Aceh Darussalam yang Masih Ada Hingga Sekarang Akhir dari Kisah Sejarah Perang Padri Kemenangan BelandaSumber Wikimedia Commons Perang Padri merupakan salah satu perang yang paling lama dalam sejarah. Bahkan semenjak penyerangan Benteng Bonjol pertama, Belanda baru benar-benar bisa menaklukkan setahun kemudian. Kegigihan kaum Padri yang didukung oleh rakyat untuk mempertahkan benteng tersebut memang sangatlah luar biasa. Namun sepertinya memang perjuangan pada waktu itu memang sudah harus menemui titik akhirnya. Pada tanggal 3 desember 1836, pasukan Belanda akhirnya mengadakan serangan besar-besaran. Mereka menyerang benteng dari segala penjuru. Kali ini, penjajah tersebut berhasil menjebol pertahanan sehingga dapat masuk ke dalam benteng. Pertumpahan darah tidak dapat dihindarkan. Banyak sekali korban jiwa yang jatuh dari kedua kubu. Meskipun begitu, masih belum dapat melumpuhkan kekuatan kaum Padri. Hingga kemudian, pada bulan Maret tahun 1837, Belanda berusaha lagi untuk melumpuhkan kekuatan lawan dengan membawa lebih banyak pasukan. Lebih dari tentara didatangkan dari berbagai daerah untuk menyerang benteng Bonjol. Selama kurang lebih enam bulan, pasukan tersebut terus menerus melakukan serangan. Hingga akhirnya, mereka berhasil mengambil alih Benteng Bonjol pada tanggal 16 Agustus 1837. Penangkapan Tuanku Imam Bonjol Ketika Benteng Bonjol dapat ditaklukkan oleh Belanda, Tuanku Imam Bonjol beserta para pengikutnya berhasil melarikan diri. Selama dalam pelarian itu, ia berusaha untuk mengatur siasat meskipun pasukannya tercerai berai dan tinggal sedikit. Sayangnya, masa pelarian itu tidaklah lama. Dengan menggunakan tipu daya, pemimpin kaum Padri tersebut dapat ditangkap oleh Belanda pada tanggal 28 Oktober 1837. Ia kemudian diasingkan ke Cianjur. Setelah itu dibuang lagi ke Ambon pada akhir tahun 1838. Tak berhenti di situ, Tuanku Imam Bonjol kemudian dipindahkan lagi ke Lotta, Minahasa. Selama kurun waktu 27 tahun, ia menjalani masa pengasingan di tempat tersebut. Ia meninggal dunia di sana pada tanggal 8 November 1864. Dalam catatan sejarah, penangkapan Tuanku Imam Bonjol bukanlah akhir dari Perang Padri. Peperangan melawan Belanda masih tetap dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai. Namun, pasukannya tidak bertahan lama. Akhirnya di penghujung tahun 1838, wilayah Kerajaan Paguruyung resmi jatuh ke tangan Pemerintah Belanda. Hal ini kemudian menandakan berakhirnya perang yang sudah terjadi selama puluhan tahun itu. Baca juga Informasi Lengkap tentang Ken Arok, Sang Pendiri Kerajaan Singasari yang Punya Masa Lalu Kelam Ulasan Lengkap tentang Sejarah Perang Padri Demikianlah informasi lengkap mengenai sejarah Perang Padri yang dapat kamu simak di sini. Cukup panjang memang, tapi semoga saja dapat menambah wawasanmu setelah membacanya, ya! Nah, di PosKata kamu nggak hanya bisa mendapatkan ulasan mengenai masa-masa penjajahan di Indonesia saja, lho. Kalau ingin membaca tentang sejarah kerajaan-kerajaan ada di nusantara juga bisa. Tidak hanya kerajaan bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, dan Mataram Islam saja, kok. Akan tetapi, ada juga tentang kerajaan Hindu-Buddha seperti Sriwijaya, Tarumanegara, Singasari, dan masih banyak lagi. Jadi, tunggu apalagi? Cek terus PosKata, ya! PenulisErrisha RestyErrisha Resty, lebih suka dipanggil pakai nama depan daripada nama tengah. Lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris yang lebih minat nulis daripada ngajar. Suka nonton drama Korea dan mendengarkan BTSpop 24/7. EditorElsa DewintaElsa Dewinta adalah seorang editor di Praktis Media. Wanita yang memiliki passion di dunia content writing ini merupakan lulusan Universitas Sebelas Maret jurusan Public Relations. Baginya, menulis bukanlah bakat, seseorang bisa menjadi penulis hebat karena terbiasa dan mau belajar.
- Perang Padri merupakan peperangan yang terjadi di Sumatera Barat tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung pada 1803-1838. Perang Padri awalnya terjadi karena adanya perbedaan prinsip mengenai agama antara kaum Padri dengan kaum Adat. Namun, lama-lama perang Padri menjadi perjuangan melawan penjajah Belanda. Karena kaum Padri dan kaum Adat bergabung jadi satu berjuang melawan Perang Padri Perang Padri terjadi karena ada pertentangan dari kaum Padri atau kelompok ulama terhadap kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi di masyarakat. Kebiasaan tersebut seperti, judi, sabung ayam, minuman keras, tembakau maupun menggunaan hukum matriarkat untuk pembagian warisan. Baca juga Sejarah Perang BadarSebelum masyarakat sudah berkata akan meninggalkan kebiasaan-kebiasaan tersebut. Namun masyarakat masih tetap menjalankan kebiasaan tersebut dan membuat kaum Padri marah sehingga terjadinya peperangan. Perang Padri bisa disebut juga sebagai perang saudara. Karena dalam perang tersebut melibatkan Minang dan Mandailing. Kaum Padri dipimpin oleh Harimau Nan Salapan, sementara kaum Adat dipimpin Sultan Arifin Muningsyah. Dalam buku Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004 2005 karya Merle Calvin Ricklefs, Gerakan pembaruan Islam tersebut dikenal sebagai gerakan Padri. Karena mereka telah menunaikan ibadah haji di Makkah.
Seperti yang diketahui, kemerdekaan Indonesia tidak didapatkan dengan mudah begitu saja. Butuh perjuangan keras yang dilakukan oleh para pahlawan dalam mendapatkan kemerdekaan bahkan melalui peperangan, salah satunya adalah Perang Padri. Bisa dibilang jika Perang Padri merupakan salah satu peperangan terlama yang terjadi selama masa perjuangan melawan para penjajah. Pada awalnya, perang ini terjadi akibat perbedaan prinsip tentang agama antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Akan tetapi, lama-lama perang tersebut menjadi perjuangan untuk melawan penjajah Belanda. Hal ini karena Kaum Adat dan Kaum Padri justru bergabung menjadi satu dan berjuang melawan Belanda. Untuk lebih jelasnya, simak informasi berikut ini. BACA JUGA Kerajaan Demak Sejarah, Masa Kejayaan & Masa Keruntuhan Mengenal Perang Padri Tirto Perang Padri terjadi di Minangkabau, tepatnya di wilayah Kerajaan Pagaruyung yang saat ini termasuk Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Bisa dibilang Ini adalah perang saudara yang dulunya pernah terjadi. Perang Padri latar belakang berawal dari masalah agama Islam dan adat sebelum penjajah Belanda masuk dan ikut campur tangan ke dalam masalah tersebut. Pertikaian yang terjadi antara sesama orang Minang tersebut berlangsung pada awal abad ke-17 Masehi yakni dari 1803 sampai 1838. Namun, ada juga beberapa sumber yang menyebutkan perang padri 1821 sampai 1837. Terlepas dari itu semua, ada beberapa golongan yang terlibat di dalam perang ini, yakni Kaum Padri kelompok agamis, Kaum Adat, dan Belanda yang menggunakan taktik licik untuk memecah-belah rakyat. Pada akhirnya, peperangan yang satu ini menjadi ajang perlawanan rakyat Minangkabau melawan penjajahan Belanda. Perang padri di sumatera barat dipimpin oleh beberapa tokoh terkemuka, seperti Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai, dan lainnya. Wikipedia Sejarah dari perang padri ini dimulai pada 1803 saat ada tiga orang Minangkabau pulang dari Makkah setelah menjalankan ibadah haji di Tanah Suci. Mereka bertiga dikenal dengan nama Haji Sumanik, Haji Miskin, dan juga Haji Piobang. Tulisan dari Azyumardi Azra yang dimuat di dalam The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia Networks of Malay-Indonesian and Middle Eastern Ulama’ in the Seventeenth and Eighteenth Centuries 2004 menyebutkan jika awalnya mereka bertiga berniat untuk memperbaiki syariat Islam di Minangkabau yang belum dijalankan dengan sepenuhnya. Seorang ulama yang bernama Tuanku Nan Renceh, mendukung dan tertarik untuk ikut andil untuk melaksanakan niat dari ketiga haji yang baru saja pulang dari Saudi Arabia tersebut. Pada akhirnya, Tuanku Nan Renceh bergabung dan juga mengajak orang lain untuk ikut serta. Mereka tergabung di dalam kelompok yang bernama Harimau nan Salapan. Harimau nan Salapan kemudian meminta pemimpin Kesultanan Pagaruyuang Pagaruyung, Sultan Arifin Muningsyah, serta kerabat kerajaan untuk bergabung. Selain itu, mereka juga diminta untuk meninggalkan kebiasaan adat yang tidak selaras dengan syariat Islam. Namun, Yang Dipertuan Pagaruyung nampaknya kurang sepakat. Selain itu, Sultan Arifin Muningsyah juga tidak ingin meninggalkan tradisi yang sudah dijalankan secara adat di Minangkabau. Mengutip dari artikel dalam portal resmi Kabupaten Agam, Sumatera Barat, terdapat beberapa kebiasaan di Minangkabau yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti judi, sabung ayam, dan juga minum minuman keras. Padahal saat itu, masyarakat adat telah banyak yang memeluk agama Islam. Kebiasaan-kebiasaan ini sebenarnya tidak sesuai dengan aturan masyarakat Kaum Adat yang mayoritas menganut agam Islam. Karena itu, kaum Padri atau kelompok agamis pun secara terpaksa menggunakan cara keras untuk bisa mengubah kebiasaan tersebut. BACA JUGA Apa itu Perangkat Lunak Pengertian, Jenis, dan Contohnya Kronologi Perang Padri CTZone Dehasen Peperangan antar saudara di tanah Minang pun tak bisa dihindarkan. Pada 1803, Tuanku Pasaman memimpin serangan kaum Padri menuju Kerajaan Pagaruyang. Hal ini membuat Sultan Arifin Muningsyah melarikan diri dari istana. Pada 1815, Harimau nan Salapan berhasil menyudutkan kaum Adat. Terdapat beberapa perang padri tokoh terkemuka dari Harimau nan Salapan, di antaranya yakni Tuanku Pasaman, Tuanku Nan Receh, Tuanku Tambusai, Tuanku Rao, Tuanku Lintau, Tuanku Pandai Sikek, Tuanku Mansiangan, serta Tuanku Barumun. Karena semakin terdesak, kemudian golongan Adat meminta bantuan pemerintah kolonial Hindia Belanda yang pada saat itu menjajah wilayah Nusantara, termasuk juga dengan Minangkabau. Kemudian pada 4 Maret 1822, Kaum Padri berhasil diusir oleh pasukan dari Hindia yang dipimpin kolonen Raff Belanda dari Kerajaan Pagaruyung. Setelah itu, Raff membangun benteng pertahanan bernama Fort Van der Capellen di Batu Sangkar. Tepat pada 10 Juni 1822, pasukan Raff dihadang laskar kaum Padri namun mereka berhasil melanjutkan perjalanan sampai Luhak Agam. Perlawanan orang-orang dari kelompok Padri, membuat Belanda terdesak dan akhirnya kembali ke Batu Sangkar. Dan pada 13 April, Raff menyerang ke markas pertahanan kaum Padri yang ada di daerah Lintau. Pertempuran tersebut mampu membuat Belanda mundur pada 16 April 1823. Kemudian, Raff meminta Sultan Arifin Muningsyah agar datang ke Kerajaan Pagaruyung, namun pada 1825, sang sultan sudah wafat. November 1825, Belanda mengajukan gencatan senjata dan membuat strategi licik berupa Perjanjian Masang. Saat itu, Belanda kewalahan dan kehilangan sumber daya untuk membiayai beberapa perang yang lain. Selama masa gencatan senjata, Tuanku Imam Bonjol yang merupakan salah satu pemimpin Kaum Padri mencoba mengajak kaum Adat bersatu, karena lawan yang sebenarnya adalah penjajah Belanda. Kesepakatan dan perdamaian antara kaum Padri dan kaum Adat ini akhirnya tercapai. Kesepakatan tersebut diadakan di atas Bukit Marapalam, Kabupaten Tanah Datar, dan dikenal sebagai “Plakat Puncak Pato”. Berakhirnya Perang Padri Made Blog Perang padri berakhir setelah Perang Jawa pada 1830. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, Belanda kembali menjadi Minangkabau sebagai pusat fokus. Pasukan kolonial pun membangun benteng di wilayah Bukittinggi yang bernama Fort de Kock. Pada 11 Januari 1833, pertahanan Belanda diserang pasukan gabungan dari Kaum Padri dan juga Kaum Adat. Sadar akan hal tersebut, Belanda kembali mengatur siasat, dan berdalih jika kedatangan mereka hanya untuk berdagang serta menjaga keamanan dengan rakyat Minangkabau. Lagi dan lagi, Belanda menerapkan siasat licik untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol pada 1837, dan kemudian diasingkan ke Cianjur, Ambon, kemudian Minahasa sampai wafat di sana. Perang pun kembali berkobar, dan kali ini Belanda lebih unggul. Pada 1838, Belanda berhasil menembus pertahanan terakhir dari rakyat Minangkabau yang ada di Dalu-Dalu. Dalam peperangan tersebut, pasukan Minangkabau dipimpin oleh Tuanku Tambusai. Tuanku Tambusai dan pengikutnya yang selamat, kemudian mengungsi ke Negeri Sembilan di Semenanjung Malaya. tu dia penjelasan mengenai Perang Padri singkat yang bisa Sedulur pahami. Dari sini kita bisa paham jika persatuan dan kesatuan itu sangat dibutuhkan untuk mempertahakan eksistensi sebuah bangsa. Tanpa adanya persatuan dan kesatuan, pihak musuh bisa dengan mudah membobol pertahanan yang membuat kita bercerai berai. Oleh karena itu, butuh persatuan dari Sabang dari Merauke untuk Indonesia bisa merdeka. Mau belanja bulanan nggak pakai ribet? Aplikasi Super solusinya! Mulai dari sembako hingga kebutuhan rumah tangga tersedia lengkap. Selain harganya murah, Sedulur juga bisa merasakan kemudahan belanja lewat handphone. Nggak perlu keluar rumah, belanjaan pun langsung diantar. Yuk, unduh aplikasinya di sini sekarang! Bagi Sedulur yang punya toko kelontong atau warung, bisa juga lho belanja grosir atau kulakan lewat Aplikasi Super. Harga dijamin lebih murah dan bikin untung makin melimpah. Langsung restok isi tokomu di sini aja!
perlawanan rakyat di berbagai daerah seperti perang padri