Menjawabpertanyaan ini, kita suka atau tidak harus menggunakan akal sehingga nanti dapat menemukan jawaban, entah afirmatif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan tentang Ilmu Ma`rifatullah (Tauhid) Didalamnya banyak mengandung Ilmu Hikmah yang hanya dapat dirasakan Pelajaran Nahwu Shorof Bab Al Marifat & Annakiroh PENGERTIAN AN-NAHWU (النحْوُ) Nahwu ialah : Ilmu kaidah-kaidah untuk mengetahui Jabatan,keadaan kata dan bentuk huruf serta harakah (ba AWALUDINMA'RIFATULLAH Artinya : Awal agama mengenal Allah. 2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA'RIFAT Artinya : IKHSAN beribadat seolah olah melihat allah, 1.ada pertanyaan para pembaca kitab ini semoga dipahami:wahai saudaraku bagaimana anda mengingat,yang diingatkan ,dan siapa engkau ingat dalam sholat/sembahyang Allahberkata dalam Hadis qudsi = Awwaludin ma'rifatullah ada ceramah bahasa bugis,.isinya kurang lebih sama,.tentang syariat, tarekat, hakikat,ma'rifat. apa yang keluar dan apa yang masuk. Setelah kenal hendaklah senantiasa mengingati Allah..siang&malam jgn xcinta..tepuk Dada tanya diri..jgn putus..selalu 1Orang Islam yang membaca al-Qur'an tergolong Ma B. Arab, 02.08.2021 2,BERIMAN ALLAH ATAU MA'RIFATULLAH MERUPAKAN SUATU KEHARUSAN BAGI SETIAP ORANG YG BERIMAN 1. surat ini berisi kandungan tentang kita tidak boleh menyembah tuhan selain Allah karena di dalam Q S al kafirun Allah menegaskan kpd orang kafir quraisy kita tidak boleh Dịch Vụ Hỗ Trợ Vay Tiền Nhanh 1s. Oleh Achmad Ghulam Fadel [email protected] Ma’rifat adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati, sebagai kelengkapan pengetahuan terhadap Tuhan melalui daya aqliyah yang lazim dikenal dengan al-;ilm billah. Seseoroang yang mencapai titik ma’rifat disebut al-arif dan yang mengenal Tuhan dengan daya nalar logikanya, terutama mencapai tauhid disebut al-;alim wal al-ulama. Sedangkan mahabbah ilahiyyah atau cinta ilahi adalah salah satu dari hal-hal yang menjadi dambaan dan cita-cita setiap hamba-Nya, yaitu suatu perasaan cinta kepada yang Maha Suci, yaitu cinta suci Allah pada makhluk-Nya atau cinta suci terhadap Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah Pendahuluan Pengertian ma’rifat berasal dari kata arafa yang berarti pengetahuan. Ma’rifat juga mengartikan pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yakni ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa kita dapatkan pada umumnya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal bersifat dhohir, akan tetapi lebih mendalam terhadap batin dengan mengetahui rahasianya. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakekat ketuhanan, yang berarti satu dan segala yang maujud berasal dari Yang Maha Tunggal. Ma’rifat digunakan juga untuk menunjukkan pada slah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam makna ini, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui batin, seseorang yang telah mencapai titik ini mampu memiliki rasa takut akan kedahsyatan Tuhan yang Maha Agung dan mampu mencapai mahabbah tehadap Allah. Foto Freepik Pengetahuan ma’rifat itu demikian lengkap dan jelas hingga jiwa merasa bersatu dengan yang diketahuinya, selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution tokoh islam dan seorang intelektual dan juga merupakan filsuf mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis atau gerakan keagamaan pengetahuan dengan batin, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan secara dekat. BACA JUGA Kontroversi Ilmu Filsafat Ibnu Sina Orang-orang sufi mengatakan bahwa ma’rifat, jika mata yang terdapat dalam hati manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup seketika itu hanya Allah yang dilihatnya. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif meligat ke cermin itu maka yang terjadi hanya Allah yang akan dilihatnya, yang dilihat baik sewaktu tidur maupun sadar dari tidur. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Dari beberapa definisi di atas dapat di ketahui, bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia dengan menggunakan hati. Dengan demikian lah tujuan yang dicapai oleh ma’rifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang tedapat pada Tuhan. Alat untuk mecapai ma’rifat adalah qalb atau hati yang telah terdapat dalam diri manusia. Selain sebagai alat untuk merasa, hati juga dapat menjadi alat untuk berfikir, perbedaan qalb dan aql adalah, bahwasannya akal tidak dapat memperoleh pengetahuan sebenearnya tentang Tuhan, sedangkan hati atau qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika terlimpahkan oleh cahaya Tuhan maka bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Hati yang telah dibersihkan dari segala perbuatan dosa dan maksiat melalui dzikir dan wirid secara istiqomah dan setelah hati ini disinari oleh cahaya Tuhan, maka akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Proses sampainya cahaya Tuhan terhadap hati ini behubungan erat dengan takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yakni mengosangkan diri dari perbuatan tercala dan maksiat melalui bertaubat. Diterusakan dengan tahalli, yakni menghiasi diri dengan akhlakul karimah dan amal ibadah, sedangkan tajalli dapat di katakan puncak atau akhir dari takhalli dan tahalli yakni terungkapnya nur ghaib untuk hati. Mahabbah Ilahiyyah Mahabbah ilahiyyah atau disebut dengan cinta ilahi adalah satu dari hal-hal yang menjadi suatu cita-cita dari setiap manusia, dia adalah satu dari dua sisi dalam satu wadah dari seorang sufi, yakni mahabbah dan ma’rifatullah. Mahabbah adalam maqam atau jabatan spiritual seseorang di hadapan Allah. Bukan kondisi sesaat yang dalam hal ini adalah mencintai lebih dari yang lainnya, yakni mencitai sang pencipta, Allah. Mahabbah ilahiyyah yaitu perasaan cinta terhadap sang pencipta, yakni cinta Allah terhadap makhluk-Nya. Mahabbah muncul dan tumbuh dalam hati seseorang, bukan karena dorongan atau paksaan, baik oleh akal dan atau nasfu melainkan karena kehendak dan anugerah Allah semata. Maka anugerah tersebut di berikan atas dasar istiqomah seseorang dalam melaksanakan tarekat beragamanya, bukan atas keinginan dan upaya-upaya seseorang, sikap tersebut tertanam dalam hati yang relatf tetap. Dalam melakukan kajian mahabbah ini, setidaknya terdapat empat aspek yang bisa dikemukakan. Pertama, adalah tentang pengertian, tujuan, dan kedudukan dari mahabbah itu sendiri. Kedua, mengemukakan alat yang digunakan untuk mewujudkan mahabbah. Ketiga, tokoh-tokoh yang memperkenalkan konsep mahabbah. Dan yang keempat adalah pandangan dari Al-Quran dan Hadits tentang mahabbah tersebut. Pengertian mahabbah dapat diartikan kecenderungan terhadap sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan baik yang besifat materi atau spiritual. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat juga di artikan suatu upaya atau usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniyah tertinggi dengan tercapainya gambaran kedekatannya terhadap Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Tujuan Sedangkan tujuan dari mahabbah dapat diperoleh dari pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai terhadap Allah dengan sepenuh hati, sehingga sifa-sifat yang dicintai oleh Allah masuk kedalam diri yang dicintai-Nya. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniyah yang sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata, akan tetapi dirasakan oleh jiwa diri kita. Selain itu, juga dapat menggambarkan mahabbah adalah suatu kondisi atau keadaan seseorang, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya. Foto Pixabay Alat untuk mencapai mahabbah dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan behubungan dengan Allah. Pertama, yaitu al-qalb sebagai mengetahui sifat-sifat dari Allah. Kedua, al-ruh sebagai alat untuk mencari keberadaan Allah. Dan yang ketiga adalah, al-sirr yaitu sebagai alat untuk melihat Allah. BACA JUGA Mengenal Ibnu Miskawaih, Intelektual Muslim Pendiri Filsafat Akhlak Arti dari sirr sendiri lebih halus daripada roh dan roh lebih halus daripada qalb. Yang mungkin sirr betempat pada roh dan roh bertempat pada qalb. Sirr muncul dan dapat menerima dari Allah, ketika roh dan qalb suci dan kosong, tidak berisi apapun. Dengan keterangan tersebut, bisa diketahui bahwa alat untuk mahabbah atau mencintai terhadap Allah adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari perbutan dosa dan maksiat serta dikosongkan dari kecintaan duniawi dan segala apapun itu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Kesimpulan Dari bacaan di atas dapat disimpulkan bahwa ma’rifat dan mahabbah salalu berhubungan, baik dalam kedudukannya ataupun pengertiannya. Kalau ma’rifat adalah tingkatan kepada Allah melalui hati al-qalb, maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Allah melalui cinta ruhiyyah. [] - Istilah ma'rifatullah mungkin masih terasa asing bagi sebagian orang, namun istilah ini sebenarnya sudah umum digunakan oleh umat muslim, khususnya bagi mereka yang sering menghadiri majelis bisa diartikan sebagai mengenal Allah, yang bila kata ini disebut maka itu berhubungan dengan Rabb, Sang Ma'rifatullah Dilansir dari portal resmi Provinsi Sumatera Barat yang mengutip perkataan Ibnul Qoyyum disebutkan, seseorang yang memiliki ketaatan yang tinggi, akan semakin tinggi pula ma'rifatnya kepada Allah, ia akan semakin menghambakan diri dan bersifat ma'rifatullah sendiri berasal kata a'rofa, ya'rifu yang artinya mengenal. Jadi dapat disimpulkan bahwa ma'rifatullah merupakan upaya manusia untuk lebih mengenal Allah dengan tujuan meningkatkan iman dan e-modul berjudul Ma'rifatullah dari Endis Firdaus dituliskan, seorang muslim perlu menyempurnakan keimanannya dengan menjadikan ma'rifatullah sebagai subjek ma'rifatullah juga bisa berarti sebagai jalan yang mengantarkan manusia untuk lebih mendekatkan dirinya kepada Allah Allah SWT atau ma'rifatullah dapat dilakukan dengan cara mengetahui nama-nama-Nya yang Maha Indah melalui Asmaul Husna dan memahami maknanya. Kemudian seorang muslim berma'rifat dengan mengetahui sifat-sifat Allah yang Maha Sempurna seperti yang dijelaskan dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadis-hadis sahih dari Rasulullah Salallaahu alaihi wa surah Al-Baqarah ayat 255 atau dikenal dengan ayat kursi dijelaskan bahwa Allah, Tuhan yang patut disembah dan tidak ada sembahan lainnya selain Dia. Allah Mahahidup, Maha Kekal, dan memiliki semua makna kehidupan yang sempurna, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya. Tidak seperti manusia, Allah tidak mengantuk dan tidak pula tidur, sebab keduanya adalah sifat kekurangan yang membuat-Nya tidak mampu mengurus makhluk-Nya. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dia Yang menciptakan, memelihara, memiliki, dan bertindak terhadap semua itu. Allah Maha Mengetahui apa yang ada di hadapan makhluk ciptaan-Nya; manusia, yakni apa saja yang sedang dan akan terjadi, dan apa yang di belakang mereka, yakni sesuatu yang telah berlalu. Allah mengetahui apa yang mereka lakukan dan rencanakan, baik yang berkaitan dengan masa kini, masa lampau, atau masa depan. Kursi-Nya, Allah yaitu kekuasaan, ilmu, atau kursi tempat kedua kaki Tuhan yang tidak diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah berpijak, sangat luas, meliputi langit dan bumi. Allah Mahatinggi zat dan sifat-sifat-Nya jika dibanding makhluk-makhlukNya, Mahabesar dengan segala keagungan dan kekuasaan-Nya. Ayat Kursi merupakan ayat teragung dalam Al-Qur'an karena mencakup nama-nama dan sifat-sifat Allah yang menunjukkan kesempurnaan zat, ilmu, kekuasaan, dan bacaan lengkap Ayat Kursi dan artinyaاللّٰهُ لَاۤ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الۡحَـىُّ الۡقَيُّوۡمُۚ لَا تَاۡخُذُهٗ سِنَةٌ وَّلَا نَوۡمٌ‌ؕ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الۡاَرۡضِ‌ؕ مَنۡ ذَا الَّذِىۡ يَشۡفَعُ عِنۡدَهٗۤ اِلَّا بِاِذۡنِهٖ‌ؕ يَعۡلَمُ مَا بَيۡنَ اَيۡدِيۡهِمۡ وَمَا خَلۡفَهُمۡ‌ۚ وَلَا يُحِيۡطُوۡنَ بِشَىۡءٍ مِّنۡ عِلۡمِهٖۤ اِلَّا بِمَا شَآءَ ۚ وَسِعَ كُرۡسِيُّهُ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ‌‌ۚ وَلَا يَـــُٔوۡدُهٗ حِفۡظُهُمَا ‌ۚ وَ هُوَ الۡعَلِىُّ الۡعَظِيۡمُ Allahu laaa ilaaha illaa Huwal Haiyul Qaiyuum; laa taakhuzuhuu sinatunw wa laa nawm; lahuu maa fissamaawaati wa maa fil ard; man zal lazii yashfa'u indahuuu illaa bi-iznih; ya'lamu maa baina aydiihim wa mww khalfahum wa laa yuhiituuna bishai'im min 'ilmihi illa bimasya' wa si'a kursiyyuhussamawati wal ardh walaa yauduhu khifzuhuma wa huwal 'aliyyul 'azhiim. Artinya "Allah, tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mahahidup, Yang terus menerus mengurus makhluk-Nya, tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar." QS. Al-Baqarah 255.Ma'rifatullah dapat diraih dengan berbagai cara, mulai dari mengenal Asmaul Husna hingga memahami segala bentuk makhluk ciptaan Allah SWT. Dengan ber-ma'rifatullah, maka seorang muslim dapat menyadari tentang betapa besarnya kekuasaan Allah terhadap seluruh makhluk yang terdapat di bumi dan alam semesta ini. Baca juga Khutbah Jumat Singkat Bersabar dan Berserah Diri Kepada Allah SWT Rangkuman Materi Mutiara Iman dan Ibadah Kepada Allah SWT Apa Ciri-ciri Amal Ibadah yang Diterima Allah SWT? - Sosial Budaya Penulis Dhita KoesnoEditor Addi M Idhom Oleh Khaerunnisa TaqiyahMahasiswa STEI SEBIkhaerunnisataqiyah berasal dari bahasa arab yaitu yaitu mengetahui atau mengenal, maka dari kata ini kita sudah dapat menyimpulkan ma’rifatullah adalah mengenal Allah SWT. Mengapa kita harus mengenal Allah? Seperti dalam pepatah Allah dulu, Allah lagi, Allah terus. Kenapa bisa seperti itu? Karena pada dasarnya Setiap pada diri manusia ketika masih di dalam rahim mereka sudah bersaksi bahwa tiada tuhan selain dalam firmanNya yang artinya “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah di atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.“ QS. Ar-Rum 30Maka dari itu kita sebagai seorang mu’min yang taat harus bisa mengenal Allah SWT. Tuhan kita, Rabb kita, sang Khaliq yang menciptakan kita, dunia dan seluruh isinya. Mengapa kita harus mengenal allah? Lagi-lagi pertanyaan ini keluar kembali, Karena dengan mengenal Allah SWT. Iman kita ter-charger, iman itu butuh di charger salah satunya dengan cara mengenal dengan mengenal Allah SWT, kita akan merasa lebih dekat kepada-Nya, dan akan berdampak pada ibadah kita nantinya. Contohnya kita menjadi lebih khusyuk dalam shalat, rajin bersedekah, dan mungkin juga yang tadinya tidak melaksanakan shalat sunnah menjadi melaksanakannya, dan lain cara ma’rifatullah? Apa saja tahap-tahap ma’rifatullah? Yaitu dengan menanam keyakinan kepada Allah SWT. Sebelum saya menjelaskan tentang menanam keyakinan kepada Allah SWT, saya ingin bertanya, apakah teman-teman sekalian tahu rukun iman? Ada berapakah rukun iman itu? Mengapa saya bertanya tentang ini??Saya akan menjawabnya dengan satu persatu, tapi tidak dengan pertanyaan pertama Karena pertanyaan itu untuk teman-teman sekalian. Saya langsung saja menjawab pertanyaan kedua, rukun iman itu ada 6, Karena rukun iman itu adalah salah satu tahap atau cara untuk mengenal Allah iman yang pertama adalah Iman Kepada Allah SWT. Iman Kepada Allah SWT, ketika kita bilang iman kepada Allah SWT, maka kita haruslah mentaati akan perintah allah dan menjauhi larangannya. Iman yang berati percaya, percaya kepada Allah SWT. Bahwa Allah SWT itu satu, tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Seperti dalam firmannya “Allah tidak beranak dan tidak pula diperanakkan.“ QS. Al-Ikhlas 3Bagaimana cara mengenal Allah SWT dengan rukun islam yang pertama ini? Agar kita bisa mengenal dan mengetahui Allah SWT lebih dekat yaitu dengan caraMengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik AllahMengetahui dan mengamalkan Sifat-sifat AllahMengetahui dan mengamalkan Asma Allah atau Asmaul Husna Nama-nama Baik AllahAsmaul Husna yang artinya nama-nama baik Allah itu ada 99, yang berarti Allah memiliki 99 nama-nama yang baik bagi Allah. Contohnya Al-khaliq artinya yang Maha Menciptakan, Ar-razaq artinya yang Maha Pemberi Rizki, Al-Ghafuur artinya yang Maha Memberi Pengampun. Istilah Asmaul Husna Husna juga dikemukakan oleh Allah SWT dalam surah Thaha ayat 8 yang artinya “Dialah Allah, tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Dia. Dia mempunyai Asmaa’ul Husna nama-nama yang baik. “ QS. Thaha 8Dari ayat tersebut menjelaskan bahwa sudah sangatlah jelas Allah SWT memiliki 99 nama-nama yang baik, dan dari nama-nama yang baik itu kita bisa memuji-Nya untuk menyembah kepada Allah SWT yang berhak disembah selain-Nya. Baca juga 99 Asmaa’ul dan mengamalkan sifat-sifat Allah SWTTelah kita ketahui bahwa Allah SWT itu mempunyai sifa-sifat yang wajib kita ketahui yaitu terdiri dari sifat wajib bagi Allah SWT, sifat mustahil bagi Allah SWT, dan sifat jaiz bagi Allah SWT. Masing-masing sifat ada 20 yang wajib kita ketahui kecuali sifat jaiz bagi Allah SWT yang memiliki 1 sifat, dan dalam pendapat yang lain itu ada 3. Baca juga asma dan sifat Allah iman yang kedua adalah iman kepada para malaikat Allah SWTIman Kepada para malaikat Allah SWT dengan cara kita mentaati perintah Allah SWT, seperti halnya para malaikat yang selalu berbuat kebaikan, dan menjauhi larangan-Nya seperti mereka yang tak pernah melakukan kesalahan, membantah apalagi menunda sesuatu tanpa perintah Allah SWT. Iman Kepada para malaikat Allah SWT, walaupun kita tak dapat melihat mereka tapi kita harus meyakini bahwa malaikat itu ada dan diciptakan dari cahaya dan bukan Karena itu kita mengingkari adanya mereka, Karena Allah-lah yang menciptakan mereka. Baca juga iman kepada malaikat Allah SWTRukun iman yang ketiga yaitu iman kepada Rasul-rasul Allah SWTIman Kepada Rasul-rasul Allah SWT, yaitu percaya kepada mereka para rasul-rasul Allah SWT. Mengikuti dan mena’ati apa yang di perintahkan Allah padanya, menjauhi dan menghindari segala larangan-Nya. Rasul-rasul Allah juga hanyalah manusia biasa, mereka juga memiliki hawa nafsu, akal, pikiran dan hati yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka juga merasakan artinya lapar dan membedakan diri mereka dan kita adalah mereka orang-orang yang terpilih, terpelihara, terjaga, tertinggi derajatnya dibandingkan dengan manusia biasa seperti kita. Maka dari itu kita harus Mengikuti dan mena’ati perintah mereka, juga menjauhi dan menghindari larangan mereka.. Baik yang tertera dalam al-qur’an maupun yang hanya terucap dalam lisan maupun terlakukan oleh perbuatan. Baca juga iman kepada Rasul-rasul Allah iman yang keempat yaitu iman kepada kitab-kitab Allah SWTIman kepada kitab-kitab Allah SWT, percaya adanya kalamullah, yang di turunkan dan di sampaikan oleh rasul-rasul Allah, maksud dalam hal ini berarti percaya adanya larangan Allah, perintah Allah, ancaman dan pahala, adanya hukum syariat yang berada dalam kitab tersebut, terutama kitab Al-Qur’an. Al-Qur’an wajib kita mengenalnya, mengenalnya dalam artian bisa membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya, juga menghafalkannya jika memang mampu. Baca juga iman kepada kitab-kitab Allah iman yang kelima adalah iman kepada qadha dan qadhar Allah SWTIman kepada qadha dan qadhar, percaya kepada ketetapan Allah SWT, adalah salah satu wujud dalam ma’rifatullah percaya bahwa ketetapannya adalah salah satu pilihan yang terbaik untuk diri kita, terkadang manusia telah merencanakan tapi rencana Allah SWT. Adalah yang lebih baik, terkadang manusia menginginkan sesuatu yang menurut mereka itu baik untuk dirinya tetapi belum tentu menurut Allah itu baik untuk dirinya. Ketetapan Allah SWT ada yang bisa dirubah atau qadha yaitu seperti halnya dasarnya manusia itu dilahirkan tidak mengetahui apa-apa. Maka manusianya sendirilah yang akan membuat diri mereka menjadi pintar, cerdas, maupun bodoh. Tergantung bagaimana keinginan merekanya dan usahanya sendiri, jika mereka ingin tetapi tak ada usaha maka manusia tak akan memiliki perubahan pada dirinya, karena ulah mereka yang tak mau lagi dengan ketetapan Allah SWT. Yang tidak bisa dirubah atau qadhar seperti kematian, jodoh, dan ketika kita dilahirkan ke dunia kita tidak bisa memilih apa jenis kelamin kita, orang tua kita siapa, miskin kah… kaya kah… Semua itu tidak bisa kita ubah ketika kita terlahirkan, namun ketika kita sudah besar, sudah berilmu kita bisa saja mengubah yang tadinya hidup serba kekurangan menjadi usaha dan ikhtiar yang telah kita lalui. Jika kita tidak percaya dan tidak menerima semua ketetapan Allah SWT maka kita termasuk orang yang tidak beriman kepada Allah, kenapa? Karena itu salah satu cara mengenal Allah, beriman kepada allah adalah dengan percaya kepada ketetapan-Nya dan menerima-Nya cara untuk mengenal Allah SWT lebih dalam adalah dengan beriman kepada hari akhir. Beriman dan meyakini bahwa adanya hari akhir dan hari pembalasan adalah salah satu bukti bahwa kita hamba yang bertaqwa. Berikut adalah fase-fase hari akhir kiamatYaumul barzakh= hari penantian di alam kuburYaumul qiyamah= hari kiamatYaumul ba’ats= hari pembangkitanYaumul hasyr= hari berkumpulnya di padang mahsyarYaumul hisab= hari perhitunganYaumul mizan= hari penimbangan amalYaumul jaza’= hari pembalasanDari semua ini bahwasannya menuntun kita agar bisa lebih mengenal Allah SWT. Tuhan semesta alam, agar kita bisa memuhasabah diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik dalam segi ketauhidan, ibadah, maupun keimanan. Untuk dalil rukun iman ini ada dalam firman Allah SWT yang artinya ”Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka dia mendapat pahala yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah.“ QS. Al-Kahfi 88. [] Catatan 1. 2. Buku KAIS I tentang Ma’rifatullah ini hanya bersifat referensi dan pembantu semata untuk menambah wawasan tentang ma’rifatullah. Untuk teknis penyampaian materi diserahkan kepada tiap kakak bina karena tiap orang mempunyai cara penyampain sendiri, akan tetapi harus mengikuti kepada poin – poin silabus yang telah dibuat dan tujuan dari KAIS tentang ma’rifatullah harus tercapai. BAB I PENTINGNYA MENGENAL ALLAH AHAMMIYYATU MA’RIFATULLAH Definisi Ma’rifatullah Secara bahasa ma’rifatullah artinya yaitu mengenal Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagai muslim, istilah mengenal hanya tidak cukup tapi istilah ma’rifatullah dapat diartikan mengenal Allah Azza wa Jalla dengan nama – nama-Nya yang maha indah, sifat – sifat-Nya yang maha terpuji sebagaimana dijelaskan dalam Al – Qur’an dan hadist tanpa at-tahrîf menyelewengkan maknanya yang benar, at-ta’thîl menolak/ mengingkarinya, at-takyîf membagaimanakannya dan at-tamtsîl menyerupakannya dengan makhluk. Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata, “Kita tidak boleh menyifati Allâh Azza wa Jalla kecuali dengan sifat yang Dia Subhanahu wa Ta’ala tetapkan untuk diri-Nya dalam al-Qur’ân dan yang ditetapkan oleh rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam dalam haditshadits yang shahih, kita tidak boleh melampaui al-Qur’ân dan hadits.” Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ 5/26. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh yang benar adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatan-perbuatan-Nya.” Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ 17/104. Tidak akan mungkin seorang hamba bisa beribadah kepada-Nya dengan rasa cinta, mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya tanpa dia mengenal kemahaindahan nama-nama-Nya dan kemahasempurnaan sifat-sifat-Nya yang semua ini menunjukkan betapa Allâh maha agung dan maha tinggi. Dia satu-satunya yang berhak dibadahi dan tidak ada sembahan yang benar kecuali Dia Azza wa Jalla. Lihat kitab Fiqhul Asmâ-il Husnâ, hlm. 10. Salah seorang Ulama salaf mengungkapkan makna ini dalam ucapannya, “Sungguh kasihan orang-orang yang cinta dunia, mereka pada akhirnya akan meninggalkan dunia ini, padahal mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini.” Lalu ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia ini ?” Ulama itu menjawab, “Cinta kepada Allâh, merasa tenang ketika mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya.” Dinukil oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitab Ighâtsatul Lahfân 1/72. Ahammiyah Ma'rifatullah Pentingnya mengenal Allah Ada Riwayat yang menyatakan bahwa hal pertama yang harus dilaksanakan dalam agama adalah mengenal Allah awwaluddin ma'rifatullah. Dengan mengenal Allah, kita akan mengenal diri. Siapakah kita? Bagaimana kedudukan kita dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain? Apakah sama misi hidup kita dengan binatang? Apakah tanggungjawab kita dan ke manakah akhir hidup kita? Semua pertanyaan itu akan terjawab secara tepat setelah kita mengenal Allah sebagai Rabb dan Ilah Yang Mencipta, Yang Menghidupkan, Yang Mematikan dan seterusnya. Dengan mengenal Allah, kita akan mendapatkan banyak keuntungan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu sangat perlu kita mengenal Allah. Selain itu, perlunya mengenal Allah karena begitu banyak dalil yang terhampar di sekitar kita yang tidak mungkin dinafikan baik secara akal sehat ataupun dengan berbagai pendekatan ilmu. a. Mengenal Allah hukumnya wajib Artinya “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah sesembahan, tuhan selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.” QS. Muhammad 47 19 Ayat diatas mengarahkan kepada kita dengan kalimat "Fa'lam annahu" ketahuilah oleh mu bahwasanya tidak ada ilah selain Allah dan minta ampunlah untuk dosamu dan untuk mukminin dan mukminat. Apabila Al – Qur’an menggunakan sighah amar perintah maka wajib bagi kita menyambut perintah tersebut. Dalam konteks ini, mengetahui atau mengenali Allah makrifatullah adalah wajib. b. Allah menyatakan bahwa tiada tuhan melainkan Allah. Artinya “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu juga menyatakan yang demikian itu. Tak ada Tuhan melainkan Dia yang berhak disembah, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. QS. Ali Imran 3 18 Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan melainkan Dia dan telah mengakui pula para malaikat dan orang-orang yang berilmu sedang Allah berdiri dengan keadilan. Tidak ada tuhan melainkan Dia Yang Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. c. Allah menjanjikan bagi hamba-Nya yang mengingkari Allah dengan api neraka. Artinya “Dan apabila dibacakan di hadapan mereka ayat-ayat Kami yang terang, niscaya kamu melihat tanda-tanda keingkaran pada muka orang-orang yang kafir itu. Hampir-hampir mereka menyerang orang-orang yang membacakan ayat-ayat Kami di hadapan mereka. Katakanlah "Apakah akan aku kabarkan kepadamu yang lebih buruk daripada itu, yaitu neraka?" Allah telah mengancamkannya kepada orang-orang yang kafir. Dan neraka itu adalah seburuk-buruknya tempat kembali. Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah pulalah yang disembah.” QS. Al – Hajj 22 72 -73 Allah telah menjanjikan mereka yang mengingkari ayat-ayat Allah dengan api neraka. Karena itu mengenal Allah dengan mentadaburi ayat – ayat-Nya adalah sangat penting dan utama agar selamat dari api neraka. d. Mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya Artinya “Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang semestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Tuhan dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.” QS. Az – Zumar 39 67 Orang-orang kafir tidak mengagungkan Allah dengan pengagungan yang sebenarnya karena mereka salah dalam mengenal Allah. Ayat ini mengajak kita agar tidak salah mengagungkan terhadap hakikat ketuhanan Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu kita harus shahih dan tepat dalam ma’rifatullah. Tema Pembahasan ma’rifatullah Pembahasan mengenai ma’rifatullah adalah berbicara tentang Rabb, Malik, Ilah dan Asma wa Sifat. Kata Rabb dalam Al – Qur’an berarti bahwa Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara dan Penguasa. Kata Malik berarti bahwa Allah sebagai Raja. Kata Ilah mengandung arti bahwa Allah-lah yang paling dicintai, paling ditakuti dan sebagai sumber pengharapan. Dan kalimat Asma wa Sifat menerengkan bahwa dalam mengenai Allah dengan nama – nama dan sifat – sifat-Nya. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, “Sesungguhnya ma’rifatullâh yang benar adalah mengenal zat-Nya, mengenal nama-nama dan sifat-sifat-Nya, serta mengenal perbuatanperbuatan-Nya.” Dinukil oleh syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmû’ul Fatâwâ 17/104. Manfaat Ma’rifatullah Hasil dari pengenalan kepada Allah adalah bertambahnya iman dan takwa sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akherat. Dengan mengenal Allah maka kita akan mendapatkan beberapa manfaat seperti a. Al Hurriyah Kebebasan Mengenal Allah berarti menyerahkan dirinya dan semua urusannya kepada Allah. Dengan mengenal Allah akan timbul keyakinan kepada taqdir dan menjadikan diri kita hanya bergantung kepada sang Pencipta saja. Dengan demikian kita menjadi bebas dari segala tuntutan hawa nafsu yang dapat membelenggu diri kita dan juga lepas dari segala ikatan yang membuat kita sangat bergantung dan menjadi tidak aman. Artinya “Orang – orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman syirik, mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” QS. Al – An’aam 6 82 b. Thuma’ninah Memberikan ketenangan Mengenal Allah akan menuntut kita untuk ingat kepadaNya melalui dzikir dan menjalankan ibadah. Ketenangan akan diperoleh dengan mengingatNya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman tentang orang-orang yang beriman akan mendapatkan ketentraman hati. Bahkan dalam surat yang lain disebutkan bahwa hanya dengan mengenal Allah, hati menjadi tenang. Cara lain selain mengingat Allah, hati belum tentu tenang dan tentram. Dengan demikian kepentingan kita mengenal Allah adalah untuk kepentingan kita sendiri. Artinya “yaitu orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” QS. Ar – Ra’d 13 28 c. Al Barakat Keberkahan Allah akan melimpahkan keberkahan kepada manusia yang beriman dan bertaqwa, ini merupakan janji Allah. Iman dan taqwa hanya diperoleh dari pengenalan dan pemahaman kita kepada Allah dan kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat Kami itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” QS. Al – A’raaf 7 96 d. Al Hayatul Thayibah kehidupan yang baik Kehidupan yang baik untuk diukur dari materi. Banyak mereka yang mempunyai kecukupan dan kelebihan materi tetapi tidak mendapatkan kehidupan yang baik. Hidup mereka susah, tidak tenang, tidak tentram, gelisah dan merasakan kekurangan terus menerus. Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang tenang walaupun tidak mempunyai kecukupan materi, kita mempunyai kedamaian hati. Dapat mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia dan dunia dengan iman dan amal shaleh. Artinya “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” QS. An – Nahl 16 97 e. Al Jannah Syurga Kepentingan mengenal Allah juga akan mengantarkan kita ke surga. Mengimani Allah mesti diikuti dengan melaksanakan amal shaleh. Misalnya kita telah mengenal Allah tentang berbagai kebaikanNya yang diberikan kepada manusia seperti rezki, kesehatan, kehidupan, anak, pekerjaan, makan, minum dan banyak lagi kebaikan Allah lainnya. Dengan mengenal kebaikan Allah maka sangat tidak wajar kita tidak berterima kasih dan tidak bersyukur kepada Allah, oleh karena itu rasa syukur kita perlu diwujudkan dalam amal shaleh dan ibadah. Artinya “Allah menyeru manusia ke Darussalam surga, dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus Islam. Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik surga dan tambahannya kenikmatan melihat Allah. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak pula kehinaan. Mereka itulah penghuni syurga, mereka kekal di dalamnya.” QS. Yunus 10 25 – 26 f. Nardhatillah Keridhaan Allah Seorang yang mengenal Allah akan selalu mengharap ridha-Nya dalam setiap perbuatannya, dalam perjalanan hidupnya ia tidak akan berbuat sesuatu kecuali bila hal itu diridhai Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Lain halnya dengan orang yang tidak mengenal Allah. Ia berbuat berdasarkan kemauan syahwat dan kehendak hawa nafsunya. Jadilah hawa nafsunya Tuhan selain Allah, yang memerintah dan melarangnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan ridha kepada kita apabila kita ridha menjalankan semua perintah-Nya. Salah satu bentuk keridhaan Allah kepada hamba-Nya adalah dengan memberikan tiket ke syurga-Nya. Artinya “Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadaNya. Yang demikian itu adalah balasan bagi orang yang takut kepada Tuhannya.” QS. Al – Bayyinah 98 8 BAB II CARA MENUJU MA’RIFATULLAH ATHTHARIIQ ILA MA’RIFATILLAH Memahami bahwa Jalan mengenal Allah adalah melalui ayat-ayat-Nya Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak menampilkan wujud Dzatnya Yang Maha Hebat di hadapan makhluk-makhluknya secara langsung dan dapat dilihat seperti kita melihat sesama makhluk. Maka, segala sesuatu yang tampak dan dapat dilihat dengan mata kepala kita, pasti itu bukan tuhan. Allah menganjurkan kepada manusia untuk mengikuti Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam supaya berpikir tentang makhluk-makhluk Allah. Jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah. Makhluk-makhluk yang menjadi tanda kebesaran dan keagungan Allah inilah yang disarankan di dalam banyak ayat Al-Qur’an agar menjadi bahan berpikir tentang kebesaran Allah. Ayat-ayat Ayat-ayat Allah yang bisa kita saksikan ada dua macam a. Ayat Allah yang ada di Al-Qur’an Ayat Qauliyah. b. Ayat Allah yang ada di alam semesta Ayat Qauniyah. a. Ayat Qauliyah Ayat-ayat qauliyah adalah ayat-ayat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an. Ayat-ayat ini menyentuh berbagai aspek, ajaran-ajaran konsep hidup, peraturan yang lengkap adalah merupakan mu'jizat yang nyata yang menunjukan akan adanya Allah. Artinya “Demi buah Tin dan buah Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota Mekah ini yang aman; sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya neraka”. QS. At – Tin 95 1 – 5 b. Ayat Qauniyah Ayat kauniah adalah ayat atau tanda yang wujud di sekeliling yang diciptakan oleh Allah. Ayat-ayat ini adalah dalam bentuk benda, kejadian, peristiwa dan sebagainya yang ada di dalam alam ini. Oleh karena alam ini hanya mampu dilaksanakan oleh Allah dengan segala sistem dan peraturan-Nya yang unik, maka ia menjadi tanda kehebatan dan keagungan Penciptanya. Hal tersebut dapat dilihat pada QS. Nuh 41 53 berikut Artinya “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaan Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”. QS. Nuh 41 53 Sesungguhnya banyak sekali fenomena – fenomena yang yang menunjukkan kebesaran Allah. Di antara sesuatu yang wajib diterima akal adalah bahwa setiap sesuatu yang ada pasti ada yang mengadakan. Begitu juga alam semesta ini, tentu ada yang menjadikannya. Artinya “Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatupun ataukah mereka yang menciptakan diri mereka sendiri?” QS. Ath – Thuur 52 35 Artinya “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati kering-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh terdapat tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah bagi kaum yang memikirkan.” QS. Al – Baqarah 2 164 Artinya “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang yakin. Dan juga pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?” QS. Adz – Dzaariyat 51 20 – 21 Metode Islam Memahami pendekatan dalam mengenal Allah menggunakan metode Islam, diantaranya sebagai berikut a. Naqli dan Akal Islam menghargai nilai akal yang dimiliki manusia. Karena dengan sarana akal ini, manusia mampu berpikir dan memilih antara yang benar atau salah. Walau begitu, dengan akal semata-mata tanpa panduan dari Pencipta akal, pencapai pemikiran manusia cukup terbatas. Apa lagi jika dicampurkan dengan unsur anasir hawa nafsu dan zhan prasangka. Gabungan antara kemampuan akal dan panduan dari Penciptanya akan menghasilkan pengenalan yang tepat dan mantap terhadap Allah swt. Maka, menjadi satu kesalahan besar apabila manusia tidak menggunakan akalnya untuk berpikir. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya Artinya “Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Katakanlah, “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” QS. Yunus 10 100-101 Artinya “Allah menyediakan bagi mereka azab yang keras, maka bertakwalah kepada Allah, hai orang-orang yang mempunyai akal; yaitu orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Allah telah menurunkan peringatan kepadamu.” QS. Ath-Thalaaq 65 10 Artinya “Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan peringatan itu niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.” QS. Al-Mulk 67 10 b. Tasdiq membenarkan Hasil dari berpikir dan meneliti secara terus menurut pedoman-pedoman yang sewajarnya, akan mencetuskan rasa kebenaran, kehebatan dan keagungan Allah. Boleh jadi ia berbetulan dengan firman Allah di An-Najm 53 11 yang berbunyi, “Tiadalah hatinya mendustakan mengingkari apa-apa yang dilihatnya. Hati mula membenarkan dan akur kepada kebijaksanaan Tuhan.” Artinya “ Yaitu Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.” QS. Ali Imran 3 191 Artinya “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.” QS. Qaf 50 37 c. Menghasilkan Iman. Metode pengenalan kepada Allah yang dibawa oleh Islam ini cukup efektif secara berurutan sehingga akhirnya menghasilkan keimanan sejati kepada Allah Azza Wa Jalla. Iman seseorang bisa dikatakan bagus dengan salah satunya beriman kepada Allah. Unsur iman merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Metode Selain Islam Pemikiran berkenaan theologi dan ketuhanan banyak juga dibawa oleh pemikir-pemikir dari penjuru dunia, tetapi tidak berlandaskan kepada metoda yang sebenarnya. Kebanyakannya berlandaskan duga-dugaan, sangka-sangkaan, dan hawa nafsu. Pastinya metoda itu tidak akan sampai kepada tujuan natijah yang sebenar karena bayang-bayang khayalan tetap menghantui pemikiran mereka. Ada tuhan angin, tuhan api, tuhan air yang berasingan dengan rupa-rupa yang berbeda seperti yang digambarkan oleh Hindu, Budha, dan seumpamanya. a. Dugaan dan Hawa Nafsu Dua unsur utama dalam metoda mengenal tuhan yang tidak berlandaskan disiplin yang benar adalah sangka-sangkaan dan juga hawa nafsu. Campur tangan dua unsur ini sangat tidak mungkin untuk mencapai natijah yang tepat dan shahih. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya Artinya “Dan ingatlah, ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang,” karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya.” QS. Al-Baqarah 2 55 Artinya “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.” QS. Yunus 10 36 Artinya “Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu Al-Qur’an sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” QS. Al-An’am 6 115 b. Ragu-Ragu Apabila jalan yang dilalui tidak jelas dan tidak tepat, maka hasil yang didapati juga sangat tidak meyakinkan. Mungkin ada hasil yang didapati, tetapi bukan hasil yang sebenarnya. Bagaimanakah kita ingin mengenal Allah tetapi kaidah pengenalan yang kita gunakan tidak menurut neraca dan panduan yang telah ditetapkan oleh Allah. Kadangkala Umar bin Khattab tersenyum sendiri mengenangkan kebodohannya menyembah patung yang dibuatnya sendiri dari gandum sewaktu jahiliyah. Apabila terasa lapar, dimakannya pujaan itu. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa ayat dalam Al-Qur’an, diantaranya Artinya “Dan senantiasalah orang-orang kafir itu berada dalam keragu-raguan terhadap Al-Qur’an, hingga datang kepada mereka saat kematiannya dengan tiba-tiba atau datang kepada mereka azab hari kiamat.” QS. Al – Hajj 22 55 Artinya “Apakah ketidak datangan mereka itu karena dalam hati mereka ada penyakit, atau karena mereka ragu-ragu, ataukah karena takut kalau-kalau Allah dan rasul-Nya berlaku zalim kepada mereka? Sebenarnya, mereka itulah orang-orang yang zalim.” QS. An-Nur 24 50 c. Berakibat Kufur Semua metoda pengenalan yang tidak berasaskan cara yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mengikuti aqli dan naqli, akan membawa ke jalan kekufuran terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kufur secara bahasa berarti menutupi. Sedangkan menurut syara', kufur adalah tidak beriman kepada Allah Subhanahu waTa’ala dan RasulNya, baik dengan mendustakannya atau tidak mendustakannya. BAB III PENGHALANG MENGENAL ALLAH AL MAWANI’ FII MA’RIFATULLAH Artinya Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka seraya berfirman "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab "Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi". Kami lakukan yang demikian itu agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan "Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini keesaan Tuhan" QS. Al A’raf 7 172 Secara fitrah, semua manusia telah bersaksi bahwa Allah adalah tuhannya, jauh sebelum ia dilahirkan. Yang menghalangi manusia dari mengenal Allah adalah sifat-sifat manusia itu sendiri seperti yang Allah sebutkan dalam Qur’an . Artinya “Maka Dia mengilhamkan kepadanya jalan kejahatan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikannya jiwa itu” QS. Asy Syam 91 8 – 9 Sifat-sifat penghalang mengenal Allah berasal dari 2 sumber 1. Sifat yang berasal dari penyakit syahwat - Fasiq Yaitu sifat seorang muslim yang secara sedar melanggar ajaran Allah Islam atau dengan kata lain orang tersebut percaya akan adanya Allah, percaya akan kebenaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW tetapi dalam tindak perbuatannya mereka mengingkari terhadap Allah SWT dan hukumNya, selalu berbuat kerosakan dan kemaksiatan. Artinya “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan "Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?." Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu pula banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orangorang yang fasik. yaitu orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” QS. Al – Baqarah 2 26 – 27 - Artinya “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” QS. Al Hasyr 59 19 Sombong Sombong adalah sifat yang menganggap dirinya lebih dengan meremehkan orang lain. karenanya orang yang takabbur itu seringkali menolak kebenaran, apalagi bila kebenaran itu datang dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya. Artinya “Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat, hati mereka mengingkari keesaaan Allah, sedangkan mereka sendiri adalah orang-orang yang sombong.” QS. An Nahl 16 22 Artinya Allah berfirman "Apakah yang menghalangimu untuk bersujud kepada Adam di waktu Aku menyuruhmu?" Menjawab iblis "Saya lebih baik daripadanya Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah." QS. Al A’raf 7 12 Artinya “Yaitu orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka. Amat besar kemurkaan bagi mereka di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenangwenang.” - QS. Ghafir / Al – Mu’min 40 35 Zalim Zalim adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya dan zalim adalah perbuatan menyakiti seseorang ataupun diri sendiri. Artinya “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Tuhannya, kemudian ia berpaling daripadanya? Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” QS. As Sajdah 32 22 Artinya - “Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak kepada Islam? Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” QS. As Shaff 61 7 Dusta Dusta adalah sifat dimana memberitakan tidak sesuai dengan kebenaran, baik dengan ucapan lisan secara tegas maupun dengan isyarat seperti menggelengkan kepala atau mengangguk. Artinya “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” QS. Al Baqarah 2 10, - QS. Al Mursalat 77 10 – 19 Banyak dosa QS. Al Mutaffiffin 14 Hasil dari penyakit syahwat ini akan menyebabkan pelakunya mendapat murka Allah. Penyakit ini dapat ia sembuhkan dengan ber-mujahadah mendekat kepada Allah. 2. Sifat yang berasal dari penyakit subhat - Jahil atau bodoh QS. Az Zumar 39 65 Ragu-ragu Qs. Al Hajj 22 55 Menyimpang Qs. Al Ma’idah 50 13 Lalai Qs. Al A’raf 7 179 Puncak atau akibat dari penyakit subhat ini sangat fatal. Karena akan menyebabkan pelakunya berada pada kesesatan. Namun, ia dapat kembali kepada jalan yang lurus, saat ia mau diobati dan mengobati jiwanya dengan ilmu. BAB IV BUKTI KEBERADAAN ALLAH Allah Subhanahu Wa Ta’ala memberikan berbagai sarana dan jalan hingga kita dapat memiliki kepercayaan kepada-Nya sampai kadar keyakinan yang ilmiah, sebagaimana keyakinan kita melihat benda yang dapat ditangkap dengan indra. Secara umum, ilmu ada dua katagori, yaitu ilmu dharuri aksiomatis dan ilmu nazhari teoritis. Ilmu dharuri adalah pengetahuan akan sesuatu yang tidak membutuhkan dalil, karena keberadaannya dapat disentuh dengan indra. Ketika kita berada di dpn suatu masjid, kita tidak memerlukan dalil untuk mengatakan bahwa masjid itu ada. Sedangkan ilmu yang hanya dapat diperoleh dengan dalil disebut ilmu nazhari. Misalnya luas segitiga adalah setengah kali alas kali tinggi 1/2 x a x t. Dan sesungguhnya, fenomena alam dan perangkat kehidupan yang dianugerahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dapat menuntun kita pada ma’rifat kepada-Nya dengan ma’rifat yang sangat dekat, sebagaimana ilmu dharuri yang dapat dilihat dengan mata kepala. Berikut ini kita bahas dalil-dalil yang dapat menguatkan keyakinan kita akan keberadaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. 1. Ad dalil al fithri dalil fitrah Ketika kita menghadapi musibah berat yang tak mampu kita hadapi, spontan kita akan meminta perlindungan dan pertolongan kepada “kekuatan ghaib” di balik alam ini. Inilah fitrah imaniah’ karakter dasar keimanan yang pasti muncul pada saat-saat seseorang tidak sanggup menghadapi ujian duniawi. lihat QS. Az Zumar ayat 8, Ar Rum ayat 33, An Naml ayat 62, Al Ankabut ayat 65, Lukman ayat 32, An Nahl ayat 53. Dikatakan kepada Rabi’ah al Adawiyah, seorang tokoh muslimah ahli ibadah, bahwa seseorang dapat menunjukkan seribu dalil akan adanya tuhan. Ia tertawa dan berkata, “Satu dalil sudahlah cukup.” “Apa itu ?” tanya orang itu. “Kalau kamu berjalan di tengah padang pasir, lalu kakimu tergelincir dan jatuh ke lubang sebuah sumur hingga tidak bisa keluar darinya, apa yang akan kamu perbuat ?” tanya Rabi’ah. “Kami akan berkata, ya Allah,” jawabnya. “Nah, itulah dalil…,” tegas Rabi’ah. Demikianlah fitrah manusia. Dia memang diciptakan Allah Subahanahu Wa Ta’ala di atas fitrah agama Allah, sehingga keimanan kepada Allah sesungguhnya telah bersemayam dalam hati setiap insan, siapapun orangnya dan yang lahir dari siapapun. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah. tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” QS. Ar Rum, 30 30. Dalil lain yang mendukung QS. 7172, 2961, 439, 7514-15 2. Ad dalil al hassiy dalil panca indera Panca indra manusia diciptakan sebagai alat untuk mengenal alam benda di sekitar kita. Namun apa yang ada pada diri kita itu memiliki banyak sekali keterbatasan. Mata kita misalnya. Ada hal-hal yang sebenarnya ada di dunia ini, tetapi mata tidak mampu melihatnya. Misalnya arus listrik, udara, aroma dan sebagainya. Apa yang kita lihat juga kadang tidak menunjukkan fakta yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan dalam segelas air terlihat patah padahal sebenarnya tidak. Rel kereta api bila kita lihat semakin jauh terlihat bertemu pada satu ujung, padahal tidak demikian faktanya. Lautan terjauh yang kita lihat seolah-olah bertemu dengan ujung dunia, padahal realitanya tidaklah demikian. Keterbatasan indra inilah yang justru menjadi dalil bahwa sesungguhnya di balik dunia yang kita tangkap dengan indra masih terdapat dunia lain. Termasuk di dalamnya adalah dunia ghaib, di mana Allah Subahanahu Wa Ta’ala termasuk bagian darinya. Dengan demikian, barangsiapa mengingkari wujud Allah Subahanahu Wa Ta’ala hanya karena indra tidak menangkapnya, maka ia harus juga mengingkari banyak sekali realita yang ada di dunia ini, yang tidak bisa ditangkap oleh indra manusia. Benarlah apa yang Allah firmankan, “ Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.” QS. Al An’am, 6 103. Dalil lain yang mendukung QS. 541, 171, 89, 3125, 3637-40 3. Ad dalil al aqli dalil akal Akal memiliki keistimewaan berupa kemampuan membuat kesimpulan dari data-data yang tertangkap panca indra kita. Kesimpulan inilah yang akan menghadirkan berbagai hakikat penting yang sangat dibutuhkan manusia dalam beragama. Seorang Arab badui suatu ketika ditanya tentang keberadaan Allah, lalu dia menunjuk seonggok kotoran onta sambil balik bertanya, Tahukah Anda, kotoran apakah itu ?’ Kotoran onta jawabnya,’ jawabnya. Sang badui kemudian bertanya lagi, Apakah Anda melihat ontanya ?” “Tidak”, jawabnya. Sang badui bertanya lagi, Lalu, bagaimana Anda bisa mengetahui bahwa kotoran itu adalah kotoran onta, tanpa Anda tahu ontanya ?” Dengan melihat ciri-cirinya,” jawabnya lagi. Sang badui kemudian berkata, “Lihatlah ke atas dan lihatlah alam semesta. Jika kotoran onta menunjukkan adanya onta tanpa harus terlihat ontanya, apakah tidak cukup bahwa alam semesta ini menunjukkan adanya pencipta tanpa harus terlihat sang pencipta ? Dialah Allah.” Allah Subahanahu Wa Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata, “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan semua ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa api neraka.” QS. Ali Imron, 3 190-191. Dalil lain yang mendukung QS. 4153, 2788, 871-4 4. Dalil Naql Pendekatan dalili akal hanya sampai pada kesimpulan akan adanya dzat ghaib yang berada di balik alam semesta ini. Namun siapakah dia? Nash teks wahyu Al Quran memperkenalkannya dengan sangat jelas. Ayat-ayat Al Quran telah menunjukkan kepada kita akan keberadaan Sang Maha Pencipta. Ayat-ayat yang terangkai dalam Al Quran merupakan untaian mukjizat untuk menunjukkan keberadaan-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam beberapa ayat-Nya berikut ini ; “Sesungguhnya tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia sengaja menciptakan Arsy. Dia tutup malam dengan siang yang mengikutinya dengan cepat. Matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ketahuilah, mencipta dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Berkat Allah, tuhan semesta alam.” QS. Al A’raf, 7 54. “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.” QS. Thaha, 20 14 “Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dialah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dialah Allah yang tiada tuhan selain Dia. Raja yang Mahas Suci, yang Maha Sejahtera, yang mengkaruniakan keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Esa, yang memiliki segala keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang Membentuk rupa, yang Mempunyai nama-nama yang paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang di langit dan apa yang di bumi. Dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” QS. Al Hasyr 22-24. Dalil lain yang mendukung QS. 482, 1788, 301-3, 159, 474 5. Ad dalil at tarikhi dalil sejarah Peninggalan situs-situs sejarah yang masih dapat kita saksikan hingga kini, menunjukkan adanya kepercayaan umat manusia akan keberadaan Tuhannya. Ritual haji di depan Ka’bah oleh musyrikin Arab, candi Borobudur di Indonesia, Pagoda Songkla dan lainnya menunjukkan pengakuan manusia akan adanya Sang Pencipta. “Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima akibat-akibat seperti itu.” QS. Muhammad,47 10. Dalil lain yang mendukung QS. 3137, 7176, 12111, 11120 BAB V MENGESAKAN ALLAH TAUHIDULLAH Tauhidullah Iman kepada Allah adalah keyakinan yang kuat tentang keberadaan Allah, Rabb yang disifati dengan semua sifat kesempurnaan dan sifat kemuliaan, satu-satunya yang berhak diibadahi. Iman kepada Allah merupakan asas dan inti aqidah Islamiyah. Iman kepada Allah meliputi beberapa cakupan, diantaranya; Iman terhadap Rububiyah-Nya, Iman terhadap Mulkiyah-Nya, Iman terhadap Uluhiyah-Nya, Iman terhadap Asma wa Sifat-Nya. Tauhid Rububiyatullah Yaitu mentauhidkan segala apa yang dilakukan Allah, baik mencipta, memberi rezeki, menghidupkan dan mematikan, serta bahwasanya Dia adalah Raja, Penguasa, dan Yang mengatur segala sesuatu. Allah Sebagai AlKhaliq Kandungan Tauhid Rububiyah Allah Sebagai ArRaziq Allah Sebagai AlMudabbir Dalil-dalil yang menunjukkan pembagian Tauhid Rububiyah - QS. Al-Fatihah 1 - QS Al-A’raf 54 - QS Ar-Ra’d 16 - QS Al-Mu’minum 84-89 - QS Ghofir 64 - QS Az-Zumar 62 Penetapan Tauhid Rububiyah saja tidak menjadikan seseorang masuk, artinya penetapan keislaman seorang muslim bukan hanya tauhid Rububiyah, karena kaum Musyrikin pun ternyata menetapkannya, akan tetapi itu tidak menjadikannya sebagian Muslim lihat QS Luqman 25 Imam Ibnul Qayyi rahimahullohu ta’ala berkata; “Seandainya keimana kepada tauhid Rububiyah ini saja dapat menyelamatkan, tentunya orang-orang musyrik telah diselamatkan. Akan tetapi urusan yang amat penting dan menjadi penentu adalah keimanan kepada tauhid uluhiyah yang merupakan pembeda antara orang-orang musyrikin dan orang-orang mentauhidkan Allah. Tauhid Mulkiyatullah Yaitu mentauhidkan meng-Esa-kan Allah dalam segala perbuatan-Nya diakherat. Caranya adalah menetapkan keesaan Allah dalam kekuasaan-Nya di akhirat, terutama kekuasaan-Nya dalam menegakkan hari akhir, menyelesaikan segala urusan, menegakkan keadilan dan membalas semua perbuatan. Tauhid mulkiyah mencakup seluruh keesaan Allah dalam segala perbuatannya di akhirat. Menegakkan dan menguasai hari pembalasan Tidak ada keraguan bahwa Allah akan menegakkan hari kiamat, memusnahkan dunia dan membangkitkan kembali manusia. Pada hari itu, kekuasaan sepenuhnya di tangan Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Furqan ayat 26 “Kerajaan yang hak pada hari itu adalah kepunyaan Tuhan Yang Maha Pemurah. Dan adalah hari itu, satu hari yang penuh kesukaran bagi orang-orang kafir.” Serta disebutkan pula dalam Al-Quran surat Ghafir ayat 16-17 “Yaitu hari ketika mereka keluar dari kubur, tiada suatu pun dari keadaan mereka yang tersembunyi bagi Allah. Lalu Allah berfirman "Kepunyaan siapakah kerajaan pada hari ini?" Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan. Pada hari ini tiap-tiap jiwa diberi balasan dengan apa yang diusahakannya. Tidak ada yang dirugikan pada hari ini. Sesungguhnya Allah amat cepat hisabnya.” Menyelesaikan semua urusan Tentang keesaan Allah dalam hal kembalinya segala urusan untuk diputuskan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 210 “Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat pada hari kiamat dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan.” Serta yang utama adalah memutuskan perselisihan dalam perkara agama, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Jatsiyah ayat 17 “Dan Kami berikan kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata tentang urusan agama, maka mereka tidak berselisih melainkan sesudah datang kepada mereka pengetahuan karena kedengkian yang ada di antara mereka. Sesungguhnya Tuhanmu akan memutuskan antara mereka pada hari kiamat terhadap apa yang mereka selalu berselisih padanya.” Menegakkan keadilan, membuat perhitungan dan membalas semua perbuatan Tentang keesaan Allah dalam memberi hukuman dan perhitungan, disebutkan dalam AlQuran surat Al-An’am ayat 62 “Kemudian mereka hamba Allah dikembalikan kepada Allah, Penguasa mereka yang sebenarnya. Ketahuilah, bahwa segala hukum hanya kepunyaan-Nya. Dan Dialah Pembuat perhitungan yang paling cepat.” Tentang keesaan-Nya dalam memberi balasan, pahala dan pertolongan, disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Kahfi ayat 44 “Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.” Konsekuensi Tanda seseorang beriman kepada tauhid mulkiyah adalah ikhlas mengharapkan ampunan dan balasan hanya kepada Allah. Sebab tidak ada yang dapat memberikan kebaikan dan keselamatan di akhirat kecuali Allah. Serta tidak ada satupun makhluk yang mampu memberi pertolongan tanpa izin dari-Nya. Adapun di antara dalil-dalilnya yaitu  “Atau apakah manusia akan mendapat segala yang dicita-citakannya? Tidak, maka hanya bagi Allah kehidupan akhirat dan kehidupan dunia. Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafaat mereka sedikit pun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridai Nya.” QS. An-Najm 24-26  “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan adzab Tuhan kami pada suatu hari yang di hari itu orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” QS. Al-Insan 9-10 Kedudukan tauhid mulkiyah dalam Islam Tauhid adalah dasar Islam yang paling agung dan hakikat Islam yang paling besar. Semua cabang keimanan berasal dari tauhid dan kembali menuju kepadanya. Tauhid diibaratkan batang utama sebuah pohon dimana cabang-cabang lain berasal darinya. Dalam sebuah hadits disebutkan yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah “Iman itu ada 70 atau 60 sekian cabang. Cabang paling utamanya adalah perkataan laa ilaha illallah’ tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah, yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalanan, dan sifat malu merupakan bagian dari iman.” Setiap bagian tauhid memiliki kedudukan masing-masing termasuk tauhid mulkiyah. Dimana tauhid asma wa sifat sebagai latar belakang penciptaan manusia, tauhid rububiyah sebagai modal bagi manusia, tauhid uluhiyah sebagai tugas bagi manusia sedangkan tauhid mulkiyah sebagai balasan bagi manusia. Dalil yang menunjukkan tentang balasan bagi orang yang bertauhid dan tidak, contohnya  “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, bahwa untuk mereka ampunan dan pahala yang besar surga. Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu adalah penghuni neraka.” QS. Al-Maidah 9-10  “Barangsiapa yang mati tanpa menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk surga. Dan barangsiapa yang mati dalam keadaan menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka ia wajib masuk neraka.” HR. Muslim dari Jabir Tauhid Uluhiyahtullah Yakni mentauhidkan meng-Esa-kan Allah dengan segala bentuk ibadah yang nampak maupun tersembunyi, dengan ucapan maupun amalan, serta meniadakan segala bentuk ibadah kepada selain Allah. Pentingnya Kedudukan Beriman Kepada Tauhid Uluhiyah - Jin dan manusia diciptakan untuk merealisasikan tauhid Uluhiyah. QS Adz-Dzariyat 56 - Para rasul dan kitab-kitab diturunkan untuk menyeru kepada tauhid Uluhiyah. QS AnNahl 36 - Tauhid Uluhiyah pembeda antara orang-orang yang bertauhid dan orang musyrik. QS Az-Zukhruf 9 - Sebab inti permusuhan antara para Rasul dengan kaumnya adalah dalam hal Tauhid Uluhiyah. Mengenal Kalimat Laa ilaahaillallah Makna Kalimat Yakni tiada tuhan yang berhak disembah diibadahi kecuali Allah. Rasulullah bersabda “Barangsiapa meninggal dunia dan dia mengerti bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, niscaya ia akan masuk surga.” HR. Muslim Rukun-rukun Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 2 rukun yaitu An-Nafyu peniadaan dan Al-Itsbat penetapan. - An-Nafyu Yakni menafikan meniadakan ibadah kepada selain Allah dan pembatalan kemusyrikan serta kewajiban mengingkari segala apa disembah selain Allah. - Al-Itsbat Yakni menetapkan bahwa ibadah itu hanya ditujukan kepada Allah semata, serta meng-Esa-kan-Nya dalam segala bentuk dan macam ibadah. lihat QS Al-Baqarah 256 Syarat-syarat Kalimat Laa ilaahaillallah memiliki 7 syarat yaitu ilmu, yakin, inqiyad patuh, shidq jujur, ikhlas, dan mahabbah cinta. - Ilmu, yakni mengetahui makna kalimah Laa ilaahaillallah.’ QS Muhammad 19] - Yakin, hendaknya orang-orang yang mengucapkannya yakin. QS Al-Hujarat15 - Qabul menerima, apa yang ditunjukkan oleh makna kalimat tersebut. QS AsShaffat 35-36 - Inqiyad patuh terhadap makna yang ditunjukkannya. QS Luqman 22 - Shidq jujur, hendaknya orang-orang yang mengucapkan kalimat ini benar-benar jujur dari dalam hatinya. “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan Yang Berhak disembah melainkan Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya secara jujur dalam hatinya, kecuali Allah mengharamkan dirinya dari Neraka.” HR BukhariMuslim - Ikhlas, membersihkan amal dari segala debu syirik yaitu dengan cara tidak mengucapkan kalimat tersebut karena tujuan duniawi. “Sesungguhnya Allah mengharamkan atas Neraka orang yang mengucapkan laa ilaaha illallah’ dengan ikhlas dari hatinya karena mengrapkan pahala melihat wajah Allah.” HR Bukhari-Muslim - Mahabbah cinta, cinta terhadap kalimat tersebut dan memahami isinya. QS AlBaqarah 256 Pengertian Ibadah Yakni sebutan nama yang mencakup apa-apa yang dicintai dan diridhoi Allah, baik yang dzohir ataupun yang bathin. Ibadah adalah perkara taufiqiyah, artinya tidak ada suatu bentuk ibadahpun yang disyariatkan kecuali berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan apa yang tidak disyariatkan berarti bid’ah mardudah bid’ah yang ditolak. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang melaksanakan suatu amalan yang tidak atas perintah kami, maka ia ditolak.” HR Bukhari-Muslim Ibadah digolongkan menjadi 3 bagian ibadah yakni, ibadah hati, ibadah lisan serta ibadah anggota badan. Contoh Ibadah Hati, seperti - Khauf takut - Raja’ berharap - Tawakkal, berpasrah kepada Allah - Raghbah, berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang ia cintai - Rahbah, perasaan cemas yang menimbulkan keinginan untuk melarikan diri dari yang ditakutinya. Ini adalah rasa yang ditakuti dengan perbuatan. - Khsyu’ - Dan lain-lain Contoh Ibadah Lisan, seperti - Takbir - Tasbih - Tahmid - Tahlil - Dan lain-lain Contoh Ibadah Anggota Badan - Shalat - Puasa - Zakat - Haji - Dan lain-lain Paham-paham yang salah dalam masalah Ibadah Tafrith Yakni yang mengurangi masalah ibadah serta meremehkan pelaksanaanya. Ifrath Yakni berlebih-lebihan dalam praktek ibadah sampai batas ekstrim, yang sunah mereka angkat sampai wajib, sebagaimana yang mubah sampai menjadi haram. Syarat diterimanya amal ibadah terdapat 2 yaitu ikhlasunniat niat yang ikhlas dan Ittiba’ u Rasul mengikuti contoh dari Rasulullah. Tiga pilar sentral landasan dalam ibadah meliputi Khauf/takut QS 17 57, raja’/berharap QS 17 57 dan Mahabbah/Cinta QS Al-Baqarah 165, QS 5 54 Tauhid Asma wa Sifat Yakni mentauhidkan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya tanpa tahrif, ta’thil, tamsil, takyif dan tafwidh.  Tahrif, merubah dari makna yang sebenarnya tentang nama dan sifat Allah.  Ta’thil, meniadakan seluruh atau sebagian dari nama-nama dan sifat Allah  Tamsil, menyamakan atau menyerupakan nama-nama dan sifat Allah dengan makhluknya.  Takyif, menanyakan sifat-sifat Allah kaifa yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.  Tafwidh, menyerahkan nama dan sifat Allah seluruhnya kepada Allah. Kaidah-kaidah umum dalam memahami tauhid Asma’ wa Sifat meliputi - Wajibnya beriman dengan seluruh nama-nama dan sifat Allah yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shohih. - Tidak menyerupakan sifat-sifat Allah tersebut dengan sifat-sifat Allah. - Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut, seperti bagaimana Tangan Allah, Wajah Allah, dan lain-lain. Mengenal pembagian sifat-sifat Allah Pertama, Sifat Tsubutiyah Yakni setiap sifat yang ditetapkan Allah bagi Diri-Nya didalam Al-Qur’an dan AsSunnah. Semua sifat ini adalah sifat kesempurnaan, seperti Hayaah Hidup, Ilmu Mengetahui, Nuzul Turun, Qudrah Berkuasa, dan sifat lainnya yang merupakan sifat kesempurnaan Allah. Sifat Tsubutiyah tergolong menjadi dua macam; - Sifat Dzaatiyah, yakni sifat yang senantiasa dan selamanya tetap ada pada diri Allah Subhanahu wa Ta’ala. - Sifat Fi’liyah, yakni sifat yang terikat dengan masyi’ah kehendak Allah, seperti Istiwa, Nuzul. Kedua, Sifat Salbiyah Yakni setiap sifat yang dinafikan ditolak Allah bagi Diri-Nya melalui Al-Qur’an dan AsSunah. Dan seluruh ini adalah sifat kekurangan dan tercela bagi Allah, seperti Maut, Naum, Jahl, Nis-yan, Ajz, Ta’ab, dan sifat-sifat lainnya yang tertolak bagi Allah. Tauhidul Ibadah Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal, menurut tuntunan Islam, tauhidullah yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagian yang hakiki di alam akhirat nanti. Dan amal yang tidak dilandasi dengan tauhid akan sia-sia, tidak dikabulkan oleh Allah dan lebih dari itu, amal yang dilandasi dengan syirik akan menyengsarakannya didunia dan diakhirat. Sebagaimana Allah berfirman “Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepada nabi-nabi sebelum kamu, jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi. Karena itu, maka hendaklah Allah saja yang kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” [QS Az-Zumar 65-66] Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud keberadaanNya dan wahdaniyah ke-Esa-anNya dan bukan pula sekedar mengenai Asma dan sifatNya. Iblis mempercayai bahwa Tuhannya adalah Allah, bahkan mengakui ke-Esa-an dan ke Mahakuasaan Allah dengan permintaanya kepada Allah melalui Asma dan sifat-Nya. Kaum Jahiliah Kuno yang dihadapi Rasulullah juga meyakini bahwa Pencipta, Pengatur, Pemelihara dan Penguasa alam semesa ini adalah Allah. Sebagaimana Allah berfirman “Dan sesunggunya jika kamu tanyakan kepada mereka; Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’ Tentu mereka akan menjawab Allah’” [QS Lukman 25] Namun kepercayaan mereka dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagai makhluk yang berpredikat Muslim, yang beriman kepada Allah. Dari sini lalu timbullah pertanyaan, “Apakah hakikat tauhid itu?” Hakikat Tauhid, ialah pemurnian ibadah kepada Allah tauhidul ibadah, yaitu; menghambakan diri hanya kepada Allah secara murni dan konsekuen, dengan menaati segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya dengan penuh rendah diri, cinta, harap, dan takut kepadaNya. Untuk inilah sebenarnya manusia diciptakan. Dan sesungguhnya misi para Rasul adalah untuk menegakkan tauhid. Mulai Rasul yang pertama, Nabi Nuh, hingga Rasul terakhirm Nabi Muhammad. Sebagaimana firman Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu.” [QS Adz-Dzariyat 56] “Dan sesungguhnya Kamu telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat untuk menyerukan, Sembahlah Allah saja dan jauhilah thaugat.” [QS An-Nahl 36] Tauhidul ibadah adalah ikhlasul ibadah memurnikan ibadah hanya dengan untuk Allah saja. Peng-Esa-an Allah dan ikhlasul ibadah hanya akan tercapai dan benar apabila memenuhi konsekuensi kalimat tauhid “laa ilaaha illallah” yaitu menolak segala bentuk ilah dan hanya mengakui Allah sebagai satu-satunya ilah, tiada sekutu bagi-Nya. Karena itu tauhid ibadah baru akan tercapai apabila dilakukan dengan dua sayapnya yaitu  Mengingkari Thaghut Kata thaghut diambil dari thagha yang berarti melampui batas. Menurut Imam Ibnu Taimiyah, thabhut segala sesuatu yang disikapi sebagaimana sikapnya kepada Allah, baik berupa jin, manusia, maupun makhluk lainnya. Demikian itu karena sesungguhnya yang berhak mendapatkan peribadatan hanyalah Allah. Ketika ada dzat lain yang mendapat perlakuan sebagaimana Tuhan atas permintaanya atau diperlakukan oleh pihak lain padahal tidak pantas mendapat perlakuan demikian, maka itulah perlakuan yang melampaui batas hingga ia disebut thaghut. Untuk menjamin kemurnian tauhidul ibadah, penolakan terhadap thaghut harus dilakukan secara preventif-antisipatif sehingga setiap muslim diperintahkan untuk menjauhi thaghut agar tidak terlibat dalam kemusyrikan, betapa pun kecil dan samar. Diantara karakteristik orang yang bertaqwa adalah menjauhi thaghut. Sebagaimana Allah berfirman “Diatas mereka ada lapisan-lapisan dari api dan dibawahnya juga disediakan lapisanlapisan yang disediakan bagi mereka. Demikianlah Allah mengancam hamba-hamba-Nya dengan azab itu. “Wahai hamba-hamba-Ku, maka bertakwalah kepada-Ku. {16} Dan orang-orang yang menjauhi thaghut yaitu tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat kabar gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku. {17} yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal sehat. {18}” [QS Az-Zumar 16-18] Rasulullah shalallahu alaihi wasallam mengatakan bahwa kemusyrikan itu lebih tersembunyi disbanding bekas tapak kaki seekor semut hitam diatas batu karang dikegelapan malam. HR. Ahmad  Iman Kepada Allah Diatas penolakannya terhadap thaghut itu, manusia harus membangun imannya kepada Allah. Demikian itu karena apabila ia hanya menolak tuhan-tuhan tapi tidak percaya kepada Tuhan yang satu, pada saat itu ia disebut atheis. Saat itu ia telah mempertuhankan dirinya sendiri, berarti ia telah thaghut melampaui batas dan inilah yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an. “Sesungguhnya manusia itu benar-benar melampaui batas, ia memandang dirinya serba cukup.” [QS Al-Alaq 6-7] Iman yang hanya diberikan kepada Allah haruslah diwujudkan dalam bentuk ibadah penghambaan dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Misi pembebasan manusia dari pengambaan atas sesama makhluk kepada penghambaan Allah inilah yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul. “Dan sungguh Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat untuk menyerukan, Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut’, kemudian diantara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah da nada ppula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan rasul-rasul.” [QS An-Nahl 36] Dengan dua sayap tauhid inilah, pemurnian ibadah hanya kepada Allah dapat dicapai, dengannya pula seseorang disebut telah berpegang pada tali yang kokoh. “Tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam, sesungguhnya telah jelas perbedaan antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sungguh dia telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah 256] Akhtar Asy-Syrik Bahaya Syirik Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah dan disandarkan pada Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah. Thaghut Al-Allamah Ibnu Qayyim telah mendefinisikan Thaghut secara menyeluruh, dia berkata Thaghut adalah segala apa saja yang disikapi seorang hamba dengan melampaui batas padanya, baik dalam bentuk sesembahan, atau yang diikuti, atau yang ditaati. Thaghut adalah segala sesuatu yang diabdi selain Allah dan dia ridho diibadahi. Artinya “Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembalimu.” QS. Al – Alaq 96 6 – 8 Macam – macam thaghut 1. Syetan QS. Yaasiin 36 60, An –Nisaa 4 118, Ibrahim 14 22 2. Pemerintah Zalim QS. Al – Ma’idah 5 44, 45, 47 3. Hukum Jahiliyah QS. An – Nisaa 4 60, Al – Ma’idah 5 50 4. Dukun dan tukang sihir QS. Al – Jin 72 6, Al – Baqarah 2 102 5. Berhala QS. An – Nisaa 4 117, Ibrahim 14 35-36 Bahaya syirik 1. Kedzaliman yang besar QS. Luqman 31 13 2. Tidak mendapat ampunan QS. An – Nisaa 4 48 3. Kesesatan yang jauh QS. An – Nisaa 4 60 & 116 4. Diharamkan surga QS. Al – Ma’idah 5 72 5. Masuk neraka QS. Al – Ma’idah 5 72 6. Dihapuskan amal QS. Az – Zumar 39 65, Al – An’am 6 88 REFERENSI 1. Materi akidah Islamiyah PPM Daarut Tauhiid oleh Abu Nida’ Mardais Al – Hilali 2. Kitab Tauhid Karangan Syekh Muhammad Bin Abdul Wahab 3. 2008. Ma’rifatullah bagian 2. . Diakses 07-11-2015 4. Al-Qur’an Sunnah. akhlaq/58-tauhid-3/bab-i/627-13-kufur-definisi-dan-jenisnya. Diakses 07-11-2015 5. dll ArticlePDF Available AbstractMa’rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim’s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn’t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma’rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma’rifatullah. Mentioned here toward Ma’rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma’rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone’s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma’rifatullah is “looking at Allah’s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Studia Insania, April 2016, Vol. 4, No. 1 ISSN 2088-6303 MENUJU MA’RIFATULLAH Menyelami Samudera Sufisme Imam al-Ghazali Asmaran As Fakultas Ushuluddin dan Humaniora IAIN Antasari Banjarmasin Diterima tanggal 3 Januari 2016 / Disetujui tanggal 15 Maret 2016 Abstract Ma‟rifatullah knowing Allah is a foundation of Islamic teaching because it is a vital part of Muslim‟s faithful. Other Teachings of Islam stand on it, because without the strong foundation such as knowing Allah sturdily, perhaps, the someone will not do his obligation, or at least what he is doing doesn‟t have any useful for himslef as a pleasant of life nor for another people as a good behave in society. There is a question to be answerd What is the nature of ma‟rifatullah? In particular, This question deepens in sufism of Imam al-Ghazali toward Ma‟rifatullah. Mentioned here toward Ma‟rifatullah, because a Muslim is only able to know Allah as in accordance with his limited ability to Allah, who is unlimited. According to al-Ghazali, Ma‟rifatullah means convincing “knowledge”. It happens if the object is uncovered clearly without any hesitations. It means revealed of the secrets of divinity and all secrets of His creations. This circumstance cannot be reached by senses of experience and or logical reasoning, but it is purely a gift or divine inspiration from God through nûr which is given to heart. Thus, it opens up all secrets are there behind this reality, which is not able to reach by someone‟s sense and mind. The circumstance is called as mukâsyafah. At the time, someone i sable to know Allah through the manifestation of His creation. Imam al-Ghazali had told that ma‟rifatullah is “looking at Allah‟s face”. Of course, it means looking at the visible manifestation of Allah traits in this universe. Kata kunci Sufisme, Ma‟rifah, Nur, Mukasyafah Pendahuluan Abû al-Wafâ‟ al-Ghanîmî al-Taftâzânî mengatakan bahwa orang yang pertama membicarakan soal makrifah ma‟rifah ialah Ma‟rûf al-Karkhî H/815 M. Namun yang paling menonjol karena pembahasannya secara teoretis dan rinci ialah Zû al-Nûn al-Mishrî H/861 M; dan dari dialah kaum sufi sesudahnya sering menimba ataupun menisbahkan teori tersebut. Boleh jadi, karena itulah dia dipandang sebagai bapak paham makrifah Zû al-Nûn al-Misrî, ada tiga macam makrifah, yaitu 1 makrifah orang awam, 2 makrifah para mutakallimin dan filosof, dan 3 makrifah para awliyâ‟ dan muqarrabin. Yang pertama adalah mengenal keesaan Allah dengan perantaraan ucapan syahadat, yang kedua ialah mengenal keesaan Allah dengan sarana logika dan penalaran, dan yang ketiga adalah mengenal keesaan Allah dengan hati sanubari atau makrifah dalam arti pertama dan kedua belum merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan. Keduanya disebut ilmu „ilm, bukan makrifah ma‟rifah. Makrifah dalam arti ketigalah yang merupakan pengenalan yang hakiki tentang Tuhan; dan inilah yang disebut makrifah. Makrifah hanya terdapat pada kaum sufi yang sanggup melihat Tuhan dengan kalbu mereka. Makrifah seperti ini hanya diberikan Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Tsaqâfah li al-Thibâ‟ah wa al-Nasyr, 1979, 100. Abû al-Wafâ al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 100. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam Jakarta Bulan Bintang, 1973, 76. Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76. Studia Insania Vol. 4, No. 1 Tuhan kepada kaum sufi. Makrifah dimasukkan Tuhan ke dalam kalbu seorang sufi, sehingga kalbunya penuh dengan cahaya. Ketika Zû al-Nûn ditanya bagaimana dia memperoleh makrifah tentang Tuhan, dia mengatakan "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku dan sekiranya tidak karena Tuhanku, aku tak akan kenal Tuhanku." Hal ini berarti bahwa makrifah bukanlah hasil usaha manusia, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Jadi makrifah adalah pemberian Tuhan kepada sufi yang sanggup hubungan ini „Alî „Abd al-Azîm mengatakan "Kaum sufi sepakat bahwa makrifah yang hakiki hanya didapat melalui hati sanubari yang menerima ilhâm al-bashîrah al-mulhamah, bukan melalui akal ataupun indera." Perlu pula dicatat, Reynold A. Nicholson dalam bukunya The Mystics of Islam dengan tegas mengatakan, bahwa Walau secara umum pengetahuan disebut dengan „ilm, tetapi pengetahuan menurut orang sufi, secara khusus disebut dengan ma„rifah atau irfân. Seperti yang pemah penulis jelaskan sebelumnya, bahwa secara mendasar ma'rifah berbeda dengan „ilm, sehingga diperlukan kata lain untuk menerjemahkannya. Dan mungkin kita tidak akan sempat mencari padanannya yang sesuai. Ma‟rifah dalam pengertian sufisme adalah 'gnosis' dari teosofi Hellenistik, yaitu pengetahuan langsung tentang Tuhan berdasarkan wahyu atau penyingkapan kasyf. la bukan hasil atau buah dari proses mental, tetapi sepenuhnya tergantung pada kehendak dan karunia Tuhan, yang diberikanNya sebagai rahmatNya kepada mereka yang memang sudah Dia ciptakan dengan kemampuan untuk menerimanya. Inilah seberkas sinar Ilahi yang menyelinap ke dalam kalbu dan menyinari seluruh bagian tubuh dengan sorotan sinamya yang al-Ghazâlî H./1111 M. dengan para sufi sebelumnya, kata al-Taftâdzânî, adalah karena dia telah menjadikan tasawuf sebagai jalan untuk mengenal Allah ma‟rifatullah, yang jelas ciri-ciri dan batas-batasnya. Sebagaimana halnya para sufi sebelumnya, al-Ghazâlî pun memandang makrifah sebagai tujuan akhir yang harus dicapai manusia, yang sekaligus merupakan kesempumaan tertinggi dimana di dalamnya terkandung kebahagiaan yang hakiki. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang metode menuju ma‟rifatullah menurut Imam al-Ghazali ini, berikut perlu diuraikan tentang pengertian makrifah, tingkat-tingkat makrifah dan makrifah sebagai ilmu makâsyafah. Pengertian Makrifah Kata makrifah ma‟rifah berasal dari kata kerja „a-r-f فرع yang berarti mengenal atau mengetahui. Di dalam kitabnya Raudhah al-Thalibîn, al-Ghazâlî mengatakan bahwa makrifah, jika diiihat dari segi bahasanya berarti "ilmu yang tidak menerima keraguan." Atau dalam ungkapan arabnya dikatakan ﻌﻤﻟﺍDalam ungkapan lain, pengertian makrifah yang disebut dengan "ilmu yang tidak menerima keraguan" di dalam kitabnya Al-Munqidz min al-Dhalâl disebutnya dengan "ilmu yang meyakinkan" al-„ilm al-yaqînî. Apa Harun Nasution, Falsafah & Mistisisme dalam Islam, 76-77. „Ali „Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah fî al-Qur‟ân al-Karîm, Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misriyah, 1973, 287. Nicholson, The Mystics of Islam London Routledge and Kegan Paul, 1975, 71. Al-Taftâzânî, Madkhal ilâ al-Tashawwuf al-Islâmî, 71. Ibrâhîm Basyûnî, Nasy‟ah al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 265. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Raudhah al-Thâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924, 162. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang disebut dengan "ilmu yang meyakinkan" itu, al-Ghazâlî mengatakan "sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak ada di hati tempat untuk itu." Dalam ungkapan arabnya dikatakan Sebagai contoh, selanjutnya dia mengatakan Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih dari tiga dan ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dirubah menjadi ular; dan itu memang terjadi serta kusaksikan sendiri, maka hal itu tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal ini samasekali tidak akan membuat aku ragu terhadap pengetahuanku. Selanjutnya aku tahu bahwa apa pun yang kuketahui, bila tidak seperti itu dan apa pun yang aku yakini bila tidak seyakin itu, maka yang demikian bukanlah "ilmu" yang dapat dipercaya dan tidak ada rasa aman di dalamnya. Dan setiap ilmu yang tidak memberi aman tersebut, bukanlah ilmu yang menurut Dr. Sulaimân Dunyâ, "kebenaran" haqîqah yang dicari al-Ghazâlî untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dalam mengomentari pemyataan yang diberikan al-Ghazâlî tentang "ilmu yang meyakinkan" seperti disebutkan di atas, Abû Bakr „Abd al-Râziq mengatakan Demikianlah ilmu yang meyakinkan menurut batasan yang diberikan dan dimaksud oleh al-Ghazâlî. Inilah ilmu yang dapat memuaskan dan melegakan batinnya, sebab, ia bukanlah ilmu yang diperoleh sebagai warisan dari orang tua, atau taklid kepada seseorang. Sesungguhnya ilmu yang telah mencapai tingkat yakin, sebagaimana contoh yang dia kemukakan, tak dapat digoyahkan oleh siapa pun. Sekiranya di hadapannya ada seseorang yang mampu merubah tongkat menjadi seekor ular, maka hal itu tidaklah berdampak terhadap dirinya, kecuali dia hanya kagum terhadap kemampuan orang tersebut dan dia tidak akan ragu terhadap apa yang dia telah segi istilahnya, makrifah menurut al-Ghazâlî ialah "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud." Atau, dengan ungkapan aslinya dikatakan Dari batasan tersebut dapat dikatakan bahwa pengertian makrifah dalam paham al-Ghazâlî tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala ketetapan-ketetapan-Nya untuk semua makhluk, meskipun pada kenyataannya dia lebih banyak membahas pengenalan tentang Tuhan yang memang tujuan utama setiap sufi. Oleh karena itu, dia juga mengatakan bahwa makrifah ialah "memandang kepada wajah Allah Ta'ala." رظنﻟﺍ ىﻟإ هجو  ىﻟاﻌت Perlu diketahui bahwa memperoleh makrifah itu merupakan proses yang bersifat kontinu. Makin banyak seorang sufi memperoleh makrifah dari Tuhan makin banyak yang diketahuinya tentang rahasia-Abû Hamîd al-Ghazâlî, Al-Munqidz min al-Dhalâl Turkey Hakikat Kitabavi, 1981, 4. Abû Hamîd al-Ghazâlî, al-Munqidz min al-Dhalâl, 4-5. Sulaimân Dunyâ, “Al-Ghazâlî Yabhats „an al-Ma‟rifah,” dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-„Amal Mesir Dâr al-Ma‟ârif, 1964, 14. Abû Bakr „Abd al-Râziq, Ma‟a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn, IV, 299. Studia Insania Vol. 4, No. 1 rahasia Tuhan, dan dia pun makin dekat kepada Tuhan. Tetapi memperoleh makrifah yang sempuma tentang Tuhan tidaklah mungkin karena manusia bersifat terbatas finite, sedang Tuhan bersifat tidak terbatas infinite, sebagaimana diterangkan al-Ghazâlî dalam karyanya Fî Bayâni Ma'rifatillâhsebagai berikut Bagaimana seorang manusia ingin mengenal Allah Ta‟ala dalam arti yang sesungguhnya, sedang terhadap dirinya sendiri dia tidak mampu mengenalnya dengan sempuma? Dalam banyak hal orang hanya dapat mengenal aktivitas-aktivitas dan sifat-sifatnya, tapi tidak mampu mengenal substansinya yang sebenamya. Bahkan manusia tidak mampu mengenal hakikat dan sifat-sifat semut atau binatang apa saja dengan pengenalan yang menyeluruh dan sempuma. Paling-paling dia hanya mampu mengenal segi-segi lahiriahnya saja, baik bentuk, wama, susunan anggota maupun perbedaannya dengan yang lain. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan hakikat semut yang membedakannya dengan binatang lainnya, baik susunan anggota maupun sifat-sifatnya, tak ada yang mampu dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Imam al-Ghazâlî mengatakan Dapat kami katakan masih amat jauh, bahwa orang-orang „arif al-„ârifîn itu ialah mereka mengenal Allah SWT. dengan sempuma tanpa terlindung sedikit pun. Sesungguhnya kami telah menjelaskan dengan bukti-bukti yang qath‟î dalam kitab Al-Maqshad al-Aqshâ fî Asmâ'i al-Lâh al-Husnâ bahwa seseorang' tidak akan dapat mengenal hakikat Allah kecuali Allah sendiri. Bagaimanapun luasnya pengetahuan makhluk manusia dan banyaknya ilmu yang mereka miliki, jika dibandingkan dengan ilmu Allah SWT, maka sesungguhnya mereka itu tidaklah diberi ilmu kecuali sedikit. Namun yang penting hendaklah diketahui bahwa keberadaan Tuhan al hadrah al-ilahiyah meliputi segala sesuatu yang ada dalam wujud ini. Karena itu, hanya Allah dan perbuatan-perbuatanNya yang sebenamya ada dalam wujud ini, semuanya adalah bukti kebenaran itu, kata al-Ghazâlî, suatu hal yang tidak mungkin bagi seseorang untuk mengenal hakikat zat Allah SWT. Maka bagi seorang arif yang berkata bahwa dia tidak mampu mengenal-Nya berarti bahwa dia telah kenal padaNya. Inilah batas kesanggupan yang dimiliki manusia untuk mengenal Allah SWT."Karena itulah, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadis, kita hanya diperintahkan untuk memperhatikan dan merenungkan kejadian makhluk, ciptaan Allah; sama sekali tidak ada perintah untuk memikirkan zat penciptanya, Allah SWT. Sesungguhnya, tersingkapnya rahasia-rahasia ketuhanan dan ketetapan-ketetapan tuhan terhadap segala sesuatu merupakan kenikmatan, kebahagiaan dan keistimewaan yang paling utama. Kemuliaan suatu makrifah, katanya, sangat terkait dengan obyeknya. Allah adalah zat yang Maha Agung dan Maha Mulia; dan karena itu mengenalNya merupakan kebahagian dan kenikmatan yang tiada taranya. Dalam hal ini al-Ghazâlî menulis Dengan demikian jelas bahwa ilmu itu adalah suatu kelezatan; sedang ilmu yang paling lezat adalah ilmu tentang Allah Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya dalam kerajaanNya dari ujung Sebuah risalah yang tersimpan di universitas Leiden, Belanda. Risalah ini dipublikasikan oleh Dr. Mahmûd Hamdî Zaqruq dalam majalah Minbar al-Islâm, Kemudian diterbitkan oleh Maktabah al-Jundî, Mesir yang dijilid menjadi satu dengan karyanya al-Iqtishâd fî al-I‟tiqâd. Risalah yang terdiri dari beberapa halaman ini ditempatkan pada bagian akhir setelah al-Iqtishad. Penerbitnya oleh Maktabah al-Jundî ini diberi pengantar oleh Mumahhad Mustafâ Abû al-„Ala. Lihat Muhammad Mustafa Abû al-„Alâ, “Tashdîr al-Risâlah” dalam Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah Maktabah al-Jundî, Mesir, 220. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Fî Bayân Ma‟rifatillah, 225. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Iljâm al-„Awâm „an „Ilm al-Kalâm Turkey Hakikat Kitabevi, 1981, 32. Al-Ghazâlî, Fî Bayân, 223-224. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah arasyNya sampai ke batas akhir dunia. Karena itu haruslah dicamkan bahwa kelezatan makrifah lebih utama dari kelezatan seluruh apa pun .Dengan demikian, tujuan akhir dari perjalanan orang-orang ârif ialah bertemu al-liqâ' dengan Tuhan. Dengan pertemuannya itu, semua kesusahan dan keinginan duniawi hilang/lenyap dari perasaan batinnya. Dia tenggelam dalam lautan kenikmatan karena berjumpa dengan Tuhan. Jika dimasukkan ke dalam neraka, dia tidak akan merasa kesakitan dan jika ditawarkan kepadanya kenikmatan surga, dia tidak akan berpaling kepadanya karena dia telah sampai pada tingkat kenikmatan yang paling sempuma. Tingkat-tingkat Makrifah Dalam proses pencarian makrifah atau ilmu yang meyakinkan tersebut, pertama-tama muncul ilmu inderawi ke depan karena ia dapat diperoleh dengan mudah dan merupakan tanggapan langsung. Tetapi ilmu yang merupakan hasil pengamatan langsung dan tampak mudah ini temyata menunjukkan kepalsuan jika ditilik lebih dekat dan dikejar lebih jauh. Dalam Mi‟yâr al-„Ilm dicontohkan dengan memperhatikan indera yang paling utama, kuat dan dominan, yaitu mata. Ketika melihat bayangan benda, mata menganggapnya diam, padahal bayangan itu bergerak perlahan yang tidak dapat ditangkap oleh mata. Dari jarak jauh, suatu benda tampak kecil pada mata, padahal benda itu besar bila ditilik dari dekat. Mata melihat seorang anak kecil, tampak tidak tumbuh besar, padahal setiap detik dia terus tumbuh dan berkembang. Mata melihat matahari kecil, padahal ia lebih besar dari planet bumi. Tidakkah mata melihat bintang-bintang di langit hanya sebesar uang-uang logam, padahal bukti-bukti menunjukkan bahwa ia lebih besar dari yang kita dalam bukunya al-Munqiz yang ditulisnya kemudian, dia menambahkan bahwa tipuan dan kepalsuan yang diberikan indera itu menyebabkannya ragu pada seluruh pengetahuannya. Oleh karena itu semua ilmu inderawi tidak dapat diyakini dan bukanlah ilmu yang percayaan al-Ghazâlî terhadap laporan inderawi mendorongnya terus melangkah, memburu makrifah melalui ilmu-ilmu akli. Dalam salah satu karyanya al-Ghazâlî membandingkan akal itu dengan mata, dimana ditegaskan bahwa akal mengungguli mata dalam hal kesanggupannya memperoleh ilmu yang meyakinkan. Di situ disebutkan tujuh kelemahan mata yang sekaligus menunjukkan kelebihan akal dari mata tersebut dalam mengenal hakikat. Di sini timbul persoalan, kalau demikian halnya mengapa orang-orang berakal berbuat salah dalam pandangan dan pemikirannya. Menurut al-Ghazâlî, kesalahan bukanlah terletak pada akal itu, tetapi karena khayalan dan angan-angan dicampuradukkan dengan akal, sedang akal yang bersih tidak mungkin berbuat salah dan keliru melihat segala sesuatu seperti apa adanya. Namun terhindamya samasekali dari hal-hal seperti ini sungguh sulit. Bahkan, terhindamya ia, secara sempuma, dari dorongan-dorongan seperti ini hanya dapat dialaminya kelak, setelah mati. Jadi al-Ghazâlî mengakui adanya kesulitan-kesulitan besar yang menghalangi penjemihan dan abstraksi akal ini, sehingga dapat dikatakan mustahil Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, 300. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Mi‟yâr al-„Ilm Mesir al-Matb‟ah al-„Arabiyah, 1927, 55. Al-Ghazâlî, al-Munqiz, 5-6. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964, 43-47. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Misykât al-Anwâr, 25. Studia Insania Vol. 4, No. 1 berlaku penjemihan didunia ini. Dengan demikian, tidak ada pula harapan untuk menjadikan akal sebagai alat untuk mencapai makrifah atau ilmu yang meyakinkan sebagaimana yang terjadi pada pancaindera. Keadaan ini membuat al-Ghazâlî tidak percaya terhadap seluruh pengetahuannya, baik ilmu-ilmu inderawi maupun ilmu-ilmu akli, kecuali ilmu-ilmu akli yang bersifat aksiomatik al-awwaliyât seperti pengetahuan bahwa sepuluh itu lebih dari tiga, dan pemyataan penolakan dan penerimaan tidak dapat berkumpul dalam satu al-Ghazâlî — sebagaimana sufi-sufi lainnya memandang bahwa indera dan akal tak mampu memberikan pengetahuan yang hakiki. Indera tidak sepenuhnya dapat dipercaya karena ia sering memberikan keterangan yang keliru. Demikian pula akal, karena hasil yang ditarik dari penalaran rasional tidak terlepas dari data yang diberikan indera. Tetapi selain dari dua macam yang disebutkan di atas, ada satu ilmu yang tidak mempergunakan indera dan akal yang disebut dengan ilmu ilhami atau disebut pula ilmu laduni; namun lebih populer disebut dengan ilham. Ilham, menurut al-Ghazâlî, ialah ilmu yang didapat manusia tanpa proses pengamatan dan penalaran atau dengan jalan belajar, ia langsung datang ke dalam kalbu, sebagai anugerah Tuhan. Ilmu ini khusus untuk para wali al-auliyâ' dan orang-orang pilihan yang bersih jiwanya al-ashfiyâ‟.Setelah berkesimpulan bahwa ilmu yang didapat melalui indera belum dapat meyakinkan dirinya, al-Ghazâlî terus menyelidiki ilmu yang didapat melalui akal; namun di sini dia juga merasa belum yakin terhadap keabsahan ilmu yang didapat lewat akal itu. Kali ini baik ilmu inderawi maupun ilmu akli sangat tergantung pada kesadaran dan keadaan seseorang ketika ia mengidentifikasikan apa yang sedang dia amati dan pikirkan. Sebagai contoh, ambillah soal mimpi. Tidakkah kita dapat menyaksikan dalam mimpi hal-hal seperti benar-benar terjadi, tetapi setelah kita terbangun nyatalah semua itu khayal belaka. Barangkali segala yang kita percayai diwaktu jaga sadar, baik dengan indera maupun akal, itu hanya berhubungan dengan keadaan kita ketika itu sadar, sehingga andaikata kita sampai kepada suatu keadaan yang lebih sadar lagi, barangkali di situ kita insaf bahwa keadaan kita ketika itu seakan-akan mimpi ilmu inderawi dan ilmu akli sangat tergantung pada keadaan dan kesadaran seseorang, maka mungkin kata al-Ghazâlî keadaan dan kesadaran yang lebih tinggi telah dicapai oleh kaum sufi, yang dalam keadaan tertentu mereka dapat menyaksikan hal-hal yang tidak mungkin dicapai oleh indera dan akal. Jadi menurut al-Ghazâlî, ilmu yang meyakinkan telah dicapai oleh kaum sufi. Mereka telah sampai pada suatu keadaan yang lebih tinggi dari yang dicapai oleh para ilmuan dan filosof. Kaum sufi dapat menyaksikan hal-hal yang tidak dapat dicapai oleh mereka. Hal ini dicapai melalui nûr yang diberikan Tuhan kepada orang yang dikehendakiNya. Nûr ini, katanya, adalah kunci pembuka sebagian besar ilmu makrifah. Jelas bahwa makrifah yang tertinggi dalam paham tasawuf al-Ghazâlî didapat melalui ilham, yaitu Tuhan memasukkan nûr ke dalam kalbu seseorang untuk mengenai rahasia-rahasia ketuhanan dan hakikat segala sesuatu. Jadi, menurut al-Ghazail, seseorang tidak akan dapat mencapai makrifah dengan indera dan akal, akan tetapi melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbunya. Al-Ghazâlî, al-Munqdiz, 5-6. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 17. Al-Ghazâlî, al-Munqidz., 6. Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Barangsiapa mengira bahwa adanya kasyf tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya dia telah menyempitkan rahmat Allah yang amat luas. Rasulullah saw ketika ditanya tentang makna al-syarh lapang dada dalam firman Allah "Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk niscaya Dia melapangkan dadanya untuk memeluk agama Islam." mengatakan "Yaitu nûr yang dilimpahkan Allah ke dalam mengemukakan pendapat al-Ghazâlî ini, „Alî „Abd al-„Azîm merumuskan, bagaimana indera dan akal dapat menyesatkan para pencari makrifah. Sedang jalan satu-satunya untuk sampai ke sana adalah melalui nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam hati-nurani, sebagaimana katanya Sesungguhnya Hujjatu al-Islam al-Ghazâlî telah menjelaskan dalam kitabnya yang amat berharga al-Munqidz min al-Dhalâl bagaimana indera dan akal menyesatkan para pencari makrifah, Dan satu-satunya jalan untuk mencapai makrifah tersebut ialah dengan kalbu yang mendapat ilham, yang disinari nûr disebutkan di atas, zauq orang sufi yang lahir dari kejemihan batin melalui pelaksanaan hidup zuhud zuhd, asceticism dan peribadatan itu merupakan tingkat permulaan dari kenabian para nabi. Tetapi dia tidak mengatakan bahwa seorang sufi dapat mencapai tingkat yang sama dengan para nabi. Makrifah yang dicapai para sufi itu sejenis dengan apa yang dicapai para nabi, walaupun tingkatnya lebih rendah. Dengan kata lain, para sufi dapat menjelajah ke daerah yang tidak mungkin dimasuki para filosof, walaupun tidak sedalam yang mungkin dicapai para nabi. Namun, bagaimanapun, para sufi tidak mungkin menganggap diri mereka telah mencapai daerah bebas hukum syariat, karena yang disebut terakhir ini adalah kebenaran yang bersumber dari kenabian yang jauh lebih tinggi kebenarannya dari apa yang dapat dicapai oleh sang sufi. Al-Ghazâlî juga telah menempatkan indera, akal dan ilham sesuai dengan sifat dan wewenang masing-masing sebagai sarana untuk mencapai makrifah. Namun, berdasarkan penelitian dan pengalamannya, dia menyimpulkan bahwa yang terakhir inilah sarana yang aman dan dapat menyampaikan ke tujuan, yakni sesuatu yang dicarinya sejak selagi muda hingga akhir hayatnya. Dalam hal ini Ahmad al-Syarbâsî mengatakan Akhimya dia temukan apa yang dicarinya dan ketenangan jiwanya di dalam tasawuf. Pada saat itu dia tahu bahwa indera adalah sarana untuk memperoleh pengetahuan empirik al-ma‟rifah al-mâddiyah, akal untuk memperoleh pengetahuan rasional al-ma‟rifah al-„aqliyah dan ilham untuk memperoleh pengetahuan sufistik al-ma‟rifah al-shûfiyah. Sesungguhnya yang terakhir ini adalah cara yang dapat menyampaikan ke tujuan dan sarana yang dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, sebuah kitab teologis, al-Ghazâlî menasehati kaum awam tentang hal-hal yang wajib diusahakan dan dihindari. Dia pun memberikan batas makrifah yang dapat dijangkau oleh akal pikiran orang awam. Nasehat pertama, hendaknya kaum awam membersihkan antropomorfisme dari pemikiran tentang Tuhan. Jika terdengar ayat-ayat tentang Allah mempunyai tangan, jari-jari dan lain sebagainya, janganlah muncul adanya gambaran bahwa Dia mempunyai daging, darah dan tulang. Allah itu bersih dari segala sifat dan bayangan antropomorfik. Nasehat kedua, hendaknya mereka membenarkan segala ajaran yang datang dari rasul, sahabat dan tâbi‟în, serta menerimanya tanpa penelitian dan tanya. Sebab Al-Ghazâlî, al-Munqidz, 7. Abd al-„Azîm, Falsafah al-Ma‟rifah, 287-289. Ahmad al-Syarbâsî, al-Ghazâlî wa al-Tashawwuf al-Islâmî Cairo Dâr al-Hilâl, 172. Studia Insania Vol. 4, No. 1 penelitian tentang rahasia akidah bukan merupakan urusan orang awam, dan bukan keahliannya. Pertanyaan terhadap rahasia akidah tersebut berbahaya, bahkan dapat membawa kepada kekufuran. Yang mesti dicamkan oleh kaum awam, katanya, ialah bahwa rahasia tadi tidak tersembunyi bagi orang arif, yaitu mereka yang telah menapaki jalan orang arif dan telah mencapai siapakah yang dimaksud dengan awam menurut al-Ghazâlî? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama dapat dilihat pada pembagian tingkat keimanan atau tajalli tersingkapnya Tuhan bagi seseorang sebagaimana tertuang dalam kitabnya, Ihyâ‟, sebagai berikut 1. Iman orang awam, yaitu orang kebanyakan yang tidak banyak berilmu. Inilah iman taklid semata-mata. 2. Iman ahli kalam mutakallimîn, yaitu orang-orang yang imannya berdasarkan pemikiran dan penalaran. Tingkat iman semacam ini tidak berjauhan dengan tingkat orang awam tadi. 3. Iman orang „ârif yaitu mereka yang mencapai tingkat keimanan dengan nûr al-yaqîn cahaya kepastian.Untuk menjelaskan tingkat-tingkat keimanan di atas, al-Ghazâlî mengemukakan ilustrasi, yaitu Jika anda ingin mengetahui adanya si Zaid dalam rumah, maka hal ini memiliki tiga tingkatan. Tingkat pertama, kalau anda diberi tahu oleh orang yang sudah anda uji kejujurannya anda belum pemah mengenal dia berdusta dan anda tidak menaruh prasangka terhadap ucapannya, maka sungguh hati anda akan puas dan tenang dengan berita orang tadi dengan semata-mata hanya mendengamya saja. Inilah iman yang berdasarkan ikut-ikutan taklid semata, yaitu perumpamaan iman orang-orang awam. Mereka mendengar dari ibu-bapaknya tentang wujud Allah dan sifat-sifatNya, mendengar diutusnya para rasul dan ajaran-ajaran yang mereka bawa. Dari apa yang didengamya itu, mereka menerimanya dengan penuh keyakinan tanpa keraguan sedikit pun karena sangka baik terhadap orang-tua dan guru-guru mereka. Iman semacam ini dapat menuju ke akhirat. Akan tetapi ini merupakan tingkat permulaan, belum tergolong muqarrabîn karena tidak adanya kasyf dan bashîrah serta tidak adanya kelapangan dada buat nûr al-yaqîn. Mengapa demikian? Karena adanya kemungkinan salah tentang apa-apa yang didengamya itu. Hati orang Yahudi dan Nasrani juga merasa tenang dan puas dengan hal-hal yang mereka dengar dari ibu-bapak mereka. Tetapi mereka mendengar dan mengikuti ajaran yang salah. Tingkat kedua, jika anda mendengar perkataan Zaid dan mendengar suaranya di balik dinding, lantas anda mengatakan bahwa Zaid ada di dalam dengan berdalih telah mendengar suaranya. Dalam hal ini, iman dan keyakinan anda tentang adanya Zaid dalam rumah lebih kuat dari kepercayaan pada tingkat pertama. Iman pada tingkat kedua ini adalah keyakinan yang telah disertai dengan dalil. Namun kesalahan pun masih mungkin terjadi, karena suara si A kadang-kadang serupa dengan suara si B. Sungguhpun demikian, hal itu tidak terlintas di hatinya, karena dia tidak menaruh prasangka samasekali, lagi pula dia sedikit pun tidak merasa terkicuh dan terserupakan dengan suara yang lain. Tingkat ketiga, apabila anda masuk ke dalam rumah, lantas anda melihat dan menyaksikan si Zaid dengan mata kepala sendiri. Tingkat ketiga ini adalah makrifah yang hakiki dan pembuktian yang menguatkan keyakinan. Inilah makrifah para muqarrabin dan siddiqin. Kendatipun demikian, tingkat iman mereka Al-Ghazâlî, Iljâm, 8-9. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 15. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengenalan dan kasyf masing-masing. Seseorang yang melihat Zaid dari dekat dan di siang hari tentulah lebih sempuma dari seseorang yang melihatnya dari jauh dan di waktu senja. Berdasarkan klasifikasi di atas, dalam kitabnya Mizân al-„Amal, al-Ghazâlî membagi pemikiran manusia atas tiga tingkatan 1. Pendapat yang diikuti secara fanatik, karena pendapat itu berkembang di daerah orang itu hidup, atau merupakan pendapat keluarga atau gurunya. 2. Pendapat orang-orang yang mencari kebenaran mustarsyidîn atau yang mengikuti jalan pikiran mereka. Pendapat ini berbeda-beda, tergantung pada kemampuan masing-masing pencari kebenaran itu sendiri. Kalau ia bukan orang genius, pasti akan tergelincir. 3. Pendapat yang hanya diketahui orang yang dekat dengan Tuhan. Orang lain tidak memahami dan mengerti; karena itu, pemikiran yang demikian tidak boleh disampaikan kepada sembarang orang. Ia hanya dapat diutarakan kepada rekan seprofesi atau orang yang sudah setingkat pikiran di atas, boleh jadi, menyebabkan al-Ghazâlî menyusun buku dengan tingkat dan bobot berbeda-beda. Ada yang untuk orang awam lower class; dan ada yang hanya untuk kalangan tertentu elite class. Buku tipe terakhir ini tidak disebar buat orang awam. Dalam hal ini, para ahli masih berbeda pendapat dalam menunjuk buku al-Ghazâlî yang ditujukan untuk kalangan elit. Namun mereka sepakat bahwa dia mengarang buku-buku jenis itu, dan berisi pikiran-pikiran atau pengalaman-pengalaman khusus yang tidak mungkin diutarakan kepada orang awam, karena lantaran dikhawatirkan akan menyesatkan mereka. Barangkali buku-buku semisal Iljâm „Awâm „an „Ilm al-Kalâm, Misykât al-Anwâr, dan Al-Madhmûn Bihi Alâ Ghairi Ahlihî ditulisnya untuk kalangan elit tersebut. Oleh karena itu, dalam kitabnya Iljâm al-„Awâm, al-Ghazâlî hanya membagi tingkatan manusia dalam hubungannya dengan pencapaian makrifah ke dalam dua tipe, yaitu kelompok awam dan kelompok elit. Siapakah yang dimaksud dengan awam dalam kitabnya ini? Al-Ghazâlî membatasi awam sebagaimana yang telah kita bicarakan, yaitu sastrawan, ahli nahwu ahli tatabahasa, muhaddits ahli hadis, mufassir ahli tafsir, faqîh ahli fiqh dan ahli kalâm teolog, bahkan semua orang berilmu kaum intelektual, selain kaum mutajarridîn mereka yang melepaskan diri dari ikatan dunia untuk belajar berenang mengarungi lautan makrifah. Jika yang termasuk kriteria awam itu adalah semua orang yang berilmu yang tidak melepaskan diri dari ikatan dunia dengan segala pesonanya untuk mengarungi lautan makrifah,maka kita bisa memasukkan para ahli pikir ke dalam kriteria awam, yaitu mereka yang menjadikan akal sehagai sarana untuk mencapai makrifah. Al-Ghazâlî memisalkan perbedaan ilmu yang didapat dengan jalan ilham dengan ilmu sebagai hasil studi sebagai berikut Andaikata ada sebuah kolam yang digali di bumi, mungkin saja dialirkan air kepadanya dari sebelah atas melalui saluran-saluran air ke dalam kolam itu, dan mungkin pula lewat sebelah bawah dengan menggali terus dimana tanah-tanahnya diangkat dari dalam kolam tersebut sehingga sampai kepada tempat air yang bersih, lantas terpancarlah air dari sebelah bawah kolam tersebut; dan air yang Al-Ghazâlî, Mîzân, 156-8. Al-Ghazâlî, Iljâm‟, 15. Studia Insania Vol. 4, No. 1 demikian itu lebih bersih dan lebih kekal tidak mudah kering, kadang-kadang lebih banyak dan berlimpah ruah. Demikianlah, kalbu bagaikan kolam dan ilmu bagaikan air, sedangkan pancaindera seperti saluran-saluran air. Besar kemungkinan ilmu-ilmu itu disalurkan ke kalbu lewat saluran-saluran indera dan mengambil pelajaran dari barang-barang yang nyata sehingga kalbu penuh berisi ilmu. Mungkin pula saluran-saluran indera itu dibendung dengan khalwat, mengasingkan diri „uzlah dan menutup penglihatan serta secara sadar menggali kedalaman kalbu dengan membersihkannya, menghilangkan lapisan-lapisan tirai daripadanya, sehingga terpancarlah sumber-sumber ilmu dari dalam kalbu al-Ghazâlî ini dapat mengundang pertanyaan. Misalnya, bagaimana ilmu itu dapat memancar dari kalbu, sedang ia bukan sumber ilmu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dia berkata "Ketahuilah, hal itu tergolong sebagian dari rahasia keajaiban kalbu. Ia tidak dapat diukur dengan ilmu mu‟âmalah. Tentang apa yang disebut dengan ilmu mu‟âmalah ini akan diuraikan kemudian. Sekarang timbul pertanyaan, apakah dengan demikian al-Ghazâlî tidak menghargai ilmu, anti intelektualisme dan tidak percaya terhadap akal, yang menyebabkan terjadinya stagnasi daya kreatifitas dan inovasi kaum muslimin dimana pengaruhnya sangat dominan. Pertanyaan ini, temyata, tidak hanya muncul dari pengklasifikasian makrifah seperti terurai dimuka, tetapi juga dilatarbelakangi sikapnya yang tidak mempercayai hukum sebab-akibat atau kausalitas dan serangannya yang gencar terhadap filsafat. Untuk mengetahui sikap al-Ghazâlî terhadap ilmu pengetahuan science, mari kita lihat keterangannya dalam kitab Ihyâ' pada bab yang membicarakan tentang ilmu. Di bawah judul "Bayân al-„Ilm al-ladzî Huwa Fardhu Kifâyah" al-Ghazâlî membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu syar‟iyah ilmu agama dan ghair syar'iyah bukan ilmu agama. Ilmu syar'iyah ialah ilmu yang berasal dari para nabi as., bukan karena produk pemikiran seperti Ilmu Hitung al-hisab, bukan hasil eksperimen seperti Ilmu Kedokteran al-thibb dan bukan pula hasil pendengaran seperti bahasa al-lughah. Sedangkan ilmu-ilmu ghair syar‟iyah terbagi kepada tiga macam, yaitu terpuji mahmûd, tercela mazmûm dan boleh mubâh. Ilmu yang terpuji ialah ilmu yang berhubungan dengan kemaslahatan urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran dan Ilmu Hitung. Selanjutnya ilmu ini terbagi lagi menjadi fardhu kifâyah dan keutamaan yang tidak difardukan. Sedangkan yang termasuk fardhu kifâyah ialah setiap ilmu yang sangat dibutuhkan untuk menegakkan urusan-urusan dunia, seperti Ilmu Kedokteran karena ia merupakan bagian integral dari kelangsungan hidup manusia; dan Ilmu Hitung karena ia sangat dibutuhkan dalam pergaulan al-mu‟amalat, pembagian wasiat, waris dan lain apa yang terurai dalam kitab Ihyâ' tersebut, jelas bahwa al-Ghazâlî begitu apresiatif terhadap ilmu pengetahuan, yaitu dengan menempatkan ilmu-ilmu yang berguna bagi dunia dan kemanusiaan pada status terpuji serta mempelajarinya adalah fardhu kifâyah. Oleh sebab itu mungkin perlu ditinjau kembali pendapat yang mengatakan bahwa kemerosotan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia Islam antara lain disebabkan sikap dan pendapat al-Ghazâlî tentang pengklasifikasian tingkat kemampuan di atas. Memang, sebagai pengikut dan sekaligus salah seorang tokoh aliran Asy'ariyah dalam bidang kalâm, al-Ghazâlî tidak percaya adanya kepastian hukum sebab-akibat atau hukum alam. Hal ini merupakan Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, III, 19. Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 17. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah konsekuensi dari pendapatnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Berbeda dengan orang-orang Mu‟tazilah, al-Ghazâlî berpendapat bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendakNya, tanpa terikat pada sesuatu apa pun, termasuk pada hukum alam. Pendapat al-Ghazâlî inilah yang sering dikritik dan dipandang, seperti tersebut di atas, sebagai penyebab terjadinya kemerosotan ilmu pengetahuan dalam sejarah pemikiran Islam, sebab, kemajuan ilmu pengetahuan itu merupakan produk pengamatan dan penalaran terhadap hukum alam tersebut. Adanya hubungan sebab-akibat seperti yang terlihat dalam keseharian, demikian selanjutnya al-Ghazâlî menjelaskan, haruslah dikembalikan kepada takdir Allah. Apabila yang satu mengikuti yang lain, maka hal itu memang telah diciptakan demikian, bukan karena hubungan itu suatu keharusan yang tercipta dalam dirinya dan tidak bisa diubah lagi. Allah berkuasa untuk menciptakan kenyang tanpa makan, mati tanpa putusnya leher dan menghilangkan kehidupan dengan putusnya leher; dan demikian seterusnya hingga keseluruhan hubungan yang saling berarti bahwa al-Ghazâlî tetap konsisten pada paham teologisnya seperti disebutkan di atas. Kemudian tentang serangannya terhadap filsafat yang juga dikatakan sebagai penyebab terjadinya kemandekan daya kreatifitas filsafat dan ilmu pengetahuan tidak lagi berkembang sebagaimana halnya di zaman keemasan dahulu di dunia Islam, barangkali masih perlu ditinjau kembali. al-Ghazâlî mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakah pendapat-pendapat yang dikemukakan para filosof itulah yang merupakan kebenaran. Baginya temyata argumen-argumen yang mereka majukan tidak kuat dan menurut keyakinannya ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Akhimya dia mengambil sikap menentang terhadap dalam kitabnya Tahâfut al-Falâsifah, yang kemudian ditegaskan kembali di dalam al-Munqiz, al-Ghazâlî menyerang duapuluh masalah dari proposisi para filosof, tidak saja filosof Yunani, tetapi juga filosof muslim seperti al-Fârâbî dan Ibnu Sinâ. Dari keduapuluh masalah tersebut, ada tiga proposisi mereka yang dipandangnya membawa kekufuran, sedang selebihnya hanya mengandung bid'ah dan mendekati paham Mu‟tazilah yang tidak seyogyanya dikafirkan. Ketiga proposisi filosof yang diserangnya dengan gencar dan habis-habisan itu adalah Pertama, penyangkalan para filosof akan kebangkitan jasmani pada hari kiamat. Kedua, terbatasnya pengetahuan Tuhan, yaitu Dia hanya mengetahui alam ini secara global, sedangkan hal-hal secara detail berada di luar pengetahuanNya. Ketiga, pendirian para filosof akan kekekalan alam. Selanjutnya, katanya, tak seorang muslim pun yang mempercayai proposisi-proposisi semacam ini. Sekalipun begitu, menurut al-Ghazali, di antara masalah yang digeluti para filosof terdapat hal-hal yang tidak bertentangan dengan agama. Matematika, yaitu ilmu yang berhubungan dengan Ilmu Hitung Arithmetic, Ilmu Ukur Geometry dan Kosmologi Cosmology sama sekali tidak bertentangan dengan agama. Ia membawa bukti-bukti yang pasti. Namun perlu diingat, ia memiliki dua bahaya 1 Karena begitu mengaguminya, hingga dia mengira bahwa pendapat para filosof itu semuanya benar, dan 2 Timbul dari Al-Ghazâlî, Ihyâ‟, I, 111. Abû Hamîd al-Ghazâlî, Tahâfût al-Falâsifah Mesir Dar al-Fikr, 239. Harun Nasution, Falsafah, 42-43. Al-Ghazâlî, Ihya‟, I, h. 307-308. Dan lihat al-Ghazâlî, al-Munqîdz,, 16-17. Studia Insania Vol. 4, No. 1 orang yang merasa tahu tentang Islam, tapi sebenamya dia tidak tahu. Dia berkeyakinan, Islam harus dibela dengan menolak semua ilmu dari kaum filosof. Namun setelah dia tahu akan kebenaran ilmu tersebut, dia menjadi tidak percaya terhadap ajaran agama, karena ajaran agama itu dipandangnya bertentangan dengan ilmu yang sudah "pasti" kebenarannya itu. Selanjutnya, juga, Ilmu Mantik atau Logika, yaitu ilmu tentang cara-cara mencari dalil, membuat analogi dan menerangkan syarat-syarat untuk definisi yang benar, tidak bertentangan dengan agama, malah sangat diperlukan. Namun bahayanya, kata al-Ghazâlî, yakni adanya kebenaran yang diberikan ilmu ini, bisa membawa orang untuk menganggap benar semua pendapat kaum filosof. Demikian pula Ilmu Alam atau Fisika, yakni ilmu yang membahas tentang benda-benda apa yang ada di langit seperti bintang-bintang dan apa yang ada di bumi seperti air, udara dan sebagainya samasekali tidak ditolak keberadaannya dalam agama. Namun yang penting harus diyakini, kata al-Ghazâlî, bahwa alam ini berada di bawah kekuasaan dan kehendak Penciptanya, Allah SWT. Ini berarti bahwa al-Ghazâlî tidak apriori menolak atau menerima produk pemikiran para filosof. Selanjutnya al-Ghazâlî memperingatkan, bahwa dalam menanggapi ajaran kaum filosof ini orang bisa terjerumus ke dalam dua bahaya. Pertama, bahaya bagi orang yang menolak, yaitu mereka yang menolaknya mentah-mentah tanpa melihat sisi positif dari ajaran para filosof itu, karena menganggap bahwa semua ajaran yang berasal dari mareka itu salah. Kedua, bahaya bagi yang menerima, yaitu mereka yang menerima begitu saja tanpa meneliti benar-salahnya terlebih uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa al-Ghazâlî bukanlah tokoh yang samasekali tidak menghargai akal, sebab, dia hanyalah menyerang beberapa aspek tertentu dari ajaran para filosof, yang dimasukkannya sebagai masalah-masalan Ketuhanan Ilâhiyât. Dia tidak menentang logika atau penggunaan akal dan nalar; yang dia tentang adalah klaim akal untuk memperoleh dan mengetahui seluruh kebenaran, termasuk masalah-masalah Ketuhanan yang sebagian besar dalam paham teologi al-Ghazâlî hanya dapat diketahui lewat wahyu. Makrifah sebagai Ilmu Mukasyafah Al-Ghazâlî memperkenalkan karya monumentalnya Ihyâ' „Ulûm al-Dîn dengan suatu peringatan, bahwa dia menulis bukunya itu bukan dengan tujuan untuk merumuskan kebenaran-kebenaran agamawi dengan kata-kata. Dalam hal ini dia memberi peringatan dengan alasan utama bahwa pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum, ia hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Di dalam melukiskan kenyataan, kata-kata hanya mengikuti ketentuan-ketentuan dari akal pikiran. Pengertian tentang kebenaran sufistik membutuhkan perkembangan tertentu dari si pembacanya dimana unsur pokok dari pengetahuan itu dihubungkan. Kebenaran sufistik berada di tingkat ini dan pengetahuan merupakan bagian yang tak terpisahkan di dalam diri seseorang. Ungkapan dengan kata-kata tidaklah mungkin, karena kata-kata tidak dapat menyampaikan hubungan dalam cara yang mengandung arti yang sebenamya, karena itu akan menyesatkan mereka yang tidak memiliki hubungan tersebut dalam dirinya. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 13-16. Al-Ghazâlî, al-Munqîdz, 17-20. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah Pada tingkat pemahaman sufistik, hal-hal yang telah diketahui merupakan pengetahuan antara manusia dengan Tuhan. Pengetahuan ini bukan merupakan suatu bentuk dari pemikiran yang sistematis, yang dapat diatur dengan kata-kata dan dapat dikomunikasikan dengan hasil pemikiran. Kontak antara sufi dengan obyek pengetahuan bersifat intim dan langsung; sistematisasi dan kata-kata dapat mencegah hubungan langsung tersebut. Apa yang dapat ditulis atau diajarkan oleh orang-orang sufi adalah "jalan" mencapai suatu kenyataan, bukan uraian tentang kenyataan. Kontak seperti itu diperoleh dari hasil penyingkiran "selubung-selubung" yang menutupi penglihatan kalbu dari kenyataan. Selubung tersebut adalah penglihatan dengan pemikiran dan penalaran intelektual. Termasuk di dalamnya juga kebiasaan-kebiasaan, sifat dan tujuan-tujuan duniawi yang menguasai kecerdasan seseorang; dan dengan demikian menghalangi kebebasannya. Apabila kalbu bebas dari semua halangan tersebut dan tidak menyimpang dari tujuannya, maka seseorang akan dapat menerima pengetahuan yang hakiki. Pada tingkat ini, pengetahuan yang hakiki makrifah tersebut disebut ilmu mukasyafah. Ilmu mukasyafah merupakan tujuan terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan untuk meletakkan keyakinannya di atas kepastian. Kepastian yang hakiki di atas kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini. Ilmu mukasyafah termasuk ilmu batin dan merupakan puncak segala ilmu. Di antara orang-orang arif pemah mengatakan "Barangsiapa tidak memiliki ilmu ini, dikhawatirkan akan celaka pada akhir hayatnya. Paling tidak dia harus mengakui eksistensinya dan tunduk kepada ahlinya." Inilah ilmu para Siddiqin dan yang dimaksud dengan ilmu mukâsyafah, di dalam Pendahuluan kitabnya Ihyâ', al-Ghazâlî mengatakan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ilmu yang menyingkap segala sesuatu yang menjadi obyeknya. Di halaman lain al-Ghazâlî menyebutkan bahwa ilmu mukâsyafah ialah ungkapan tentang nûr yang tampak di dalam kalbu ketika kalbu itu bersih dan suci dari sifat-sifat yang tercela, Dengan nûr itu tersingkaplah hakikat segala sesuatu. Dengan demikian tercapailah makrifah yang hakiki, baik mengenai rahasia Ketuhanan maupun rahasia perbuatan-Nya dalam menciptakan dunia dan akhirat. Oleh karena itulah, al-Ghazâlî seterusnya mengatakan, bahwa ilmu mukâsyafah berarti hilangnya tutup sehingga jelas bagi seseorang kejelasan Tuhan pada segala hal, seperti jelasnya pandangan mata yang tidak diragukan lagi. Hal ini dapat dicapai seandainya cermin kalbu tidak ditutupi karat dan tidak dikotori oleh noda-noda langsung terhadap obyek-obyek pengetahuan merupakan tujuan akhir dari setiap ajaran kaum sufi. Obyek tertinggi dari pengetahuan adalah Allah. Orang tidak dapat mempelajari pengetahuan seperti itu dari siapa pun; dari para nabi pun tidak. Sebagai pengalaman langsung, menurut al Ghazali, ia adalah nûr yang diilhamkan Tuhan ke dalam kalbu orang-orang tertentu yang dikehendakiNya. Dalam hal ini, dengan mengemukakan sabda Rasulullah saw, al-Ghazâlî menegaskan bahwa orang harus Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 4. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 20. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Studia Insania Vol. 4, No. 1 "Menjauhi dunia yang penuh tipuan dan menghadap dengan sepenuh perhatian ke alam akhirat yang abadi." Selanjutnya Rasulullah bersabda pula "Allah SWT. telah menciptakan seluruh makhluk dalam kegelapan, lalu Dia perciki mereka sebagian dari nûr-Nya." Karena itu, dengan nûr inilah dicari kasyf. Nûr ini memancar dari kemurahan Ilahi pada waktu-waktu tertentu dimana orang harus berjaga-jaga untuk menerimanya, sebagaimana sabda Rasulullah "Ada saat karunia dari Tuhanmu, siapkanlah dirimu untuk al-Ghazali, ilmu mukâsyafah adalah ilmu yang tersembunyi al-khafi hanya diketahui oleh mereka yang benar-benar mengenal Allah. Karena itulah mereka hanya mempergunakan simbol-simbol khusus serta tidak memperbincangkannya di luar kalangan sendiri. Pengetahuan-pengetahuan yang begini, yang hanya dikemukakan melalui simbol, tidak diperkenankan disampaikan kepada setiap orang. Oleh karena itu, orang yang telah memperoleh pengetahuan tersebut tidak boleh mengungkapkannya kepada orang yang tidak pemah memper dalam Mukaddimah bukunya Misykât al-Anwâr, sebuah buku yang ditulisnya untuk kalangan tertentu yaitu orang-orang yang siap menerima berbagai hakikat yang pelik, al-Ghazâlî memperingatkan bahwa ada hal-hal yang tidak dapat ditangkap/diterima oleh orang-orang yang hanya menggunakan "mata" biasa indera dan akal. Karena itulah, katanya, tidak semua hakikat boleh diungkapkan dan disiarkan; tidak semua hakikat boleh dikemukakan. Bahwa "kalbu orang-orang yang merdeka adalah kuburan berbagai rahasia." Sebagaimana pula dikemukakan oleh seorang „ârif." Mengungkapkan rahasia Ilahi adalah kekufuran." Rasulullah saw; penghulu orang-orang terdahulu dan terkemudian, katanya, pemah bersabda "Di antara berbagai ilmu ada yang tersembunyi rapat, tidak seorang pun mengetahuinya kecuali ulama yang dekat dengan Allah. Apabila mereka menuturkannya, maka tidak seorang pun akan menyangkalnya kecuali orang-orang yang tertipu." Namun, jika orang telah siap dan berhak menerimanya, maka tidak sepantasnya merahasiakannya kepadanya. Sebab, menyembunyikan ilmu dari ahlinya tidaklah lebih kecil bahayanya daripada menyebarkannya di kalangan orang-orang yang bukan ahlinya. Seorang penyair pemah berujar "Barangsiapa memberikan ilmu kepada orang yang bukan ahlinya, berarti dia telah menyia-nyiakannya. Dan barangsiapa menutup ilmu dari orang yang berhak mengetahuinya, sungguh ia telah berbuatan aniaya”.Al-Ghazâlî sering memberikan contoh tentang adanya kasyf ini dengan masalah mimpi. Dalam mimpi orang dapat melihat sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh mata atau rasio. Kalau kasyf bo1eh terjadi dikala tidur, maka tidak mustahil juga hal itu terjadi dikala jaga. Sebenamya tidak ada bedanya antara tidur dan jaga itu, kecuali hanya pada diamnya alat-alat indera dan ketidaksibukannya alat-alat indera itu terhadap benda-benda yang diamatinya. Banyak orang yang terbuka matanya, yang sedang tenggelam dalam lamunan, tidak melihat atau mendengar apa-apa karena dia sibuk akan urusan dirinya. Pemberitaan Rasulullah saw tentang masalah-masalah gaib dan hal-hal yang akan terjadi di masa depan, kata al-Ghazali, juga merupakan bukti tentang adanya kasyf. Jika yang demikian boleh terjadi pada Nabi saw, maka tentu boleh pula terjadi kepada selainnya, karena beliau sebagai lambang dari suatu pribadi Al-Ghazali, al-Munqidz, 7. Al-Ghazali, Ihya‟, I, 21. Al-Ghazali, Misykât, 39-40. Al-Ghazali, Ihya‟, III, 24. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah yang baginya tersingkap hakikat segala sesuatu dan diberi tugas untuk memperbaiki keadaan makhluk. Juga tidak mustahil kalau di alam ini ada pribadi yang baginya tersingkap segala hakikat, meskipun dia tidak bertugas memperbaiki keadaan makhluk. Pribadi semacam ini bukan nabi, tetapi disebut Dengan demikian, jika hakikat segala sesuatu tersingkap secara jelas bagi seseorang lewat ilham yang dilimpahkan Tuhan ke dalam kalbu, maka dia telah memperoleh suatu ilmu yang tidak diragukan lagi kebenarannya, yang disebut dengan makrifah. Itulah sebabnya, maka al-Ghazâlî menyebut makrifah sebagai ilmu mukasyafah. Kemungkinan adanya kasyf, kata al-Ghazali, telah ditegaskan oleh dalil-dalil nakli. Rasulullah saw bersabda "Barangsiapa beramal sesuai dengan ilmunya, niscaya Allah akan memberinya ilmu yang belum dia ketahui; dan akan memberinya taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia layak mendapatkan surga. Dan barangsiapa tidak mau beramal dengan apa yang telah diketahuinya, niscaya dia akan tersesat pada apa yang dia ketahui; dan tidak akan mendapatkan taufik pada apa yang dia kerjakan hingga dia pantas mendapatkan neraka." Allah SWT berfirman "Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar." 652. Maksudnya, kata al-Ghazali, adalah jalan keluar dari kesulitan dan keraguan. "Dan memberinya rezeki tanpa disangka-sangka." Yakni Allah akan memberinya ilmu tanpa belajar dan membuatnya pintar tanpa berlatih. Makrifah, menurut al-Ghazali, berarti ilmu yang meyakinkan. Maksudnya, suatu "pengetahuan" yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapa pun dan apa pun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Sebab, makrifah yang bersiiat haqq al-yaqin itu adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari sumbernya, Allah SWT dalam kondisi musyahadah dan mukasyafah. Karena itulah Abû Nashr al-Sarraj al-Tusi mengartikan yaqin dengan tersingkapnya sesuatu secara jelas dan nyata al-mukasyafah. Sejalan dengan itu, maka al-Ghazâlî meraberikan batasan makrifah dengan "mengetahui rahasia-rahasia Ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya yang meliputi segala yang maujud. Dari keterangan di atas, tampak bahwa hakikat makrifah dalam ajaran tasawuf al-Ghazâlî adalah pengenalan terhadap rahasia segala sesuatu. Meskipun demikian, sebagaimana sufi-sufi yang lain, hakikat makrifah dalam pandangan al-Ghazâlî lebih terorientasi pada pengenalan terhadap Allah untuk mencapai tingkat tauhid yang sesungguhnya. Tingkat makrifah yang harus dicapai, menurutnya, adalah bertemu liqa‟ dan melihat ru‟yah Allah, yang disebutnya dengan istilah. "memandang kepada wajah Allah Ta'ala. Inilah kenikmatan yang paling tinggi dan paripuma yang tidak ada bandingannya [ ] Al-Ghazali, Ihya‟, 24. Studia Insania Vol. 4, No. 1 DAFTAR PUSTAKA Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, 1975. Arberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. „Azim, „Ali „Abd al-. Falsafah al-Ma‟rifah fi al-Qur‟ân al-Karîm. Cairo al-Hai‟ah al-Âmmah li al-Syu‟ûn wa al-Mathâbi‟ al-Misiryah, 1994. Basil, Victor Said. Manhaj al-Bahs „an al-Ma‟rifah „inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, Basyûnî Ibrahîm. Nasy‟ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma‟ârf, Dunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma‟ârif, 1971. Fayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa „Alâqaha al-Yaqîn bi al-„Aql. Cairo Dâr al-Fikr al-„Arabî, Gardiner, al-Ghazâlî, Madras Allahmad, Calcuta, 1919. Ghallâb, Muhammâd. al-Ma‟arifah „inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Ghazâlî, Abû Hamîd al- al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Faisal al-Tafriqah baina al-Islâm wa al-Zindiqah. Mesir al-Matba‟ah al-„Arabiyah, 1343 H. -. Fi Bayân Ma‟rifatillâh. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Ihyâ‟ „Ulûm al-Dîn. Beirut Dar al-Fikr, -. Iljâm al-„Awwâm „an „Ilm al-Kalâm. Turkey Hakikat Kitabavi, 1981. -. al-Iqtishâd fi al-I‟tiqad. Mesir Maktabah al-Jundî, -. Kîmiyâ‟ al-Sa‟âdah. Beirut al-Maktabah al-Syu‟biyah, -. Ma‟ârij al-Quds fi Madârij Ma‟rifah al-Nafs. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1927. -. Minhâj al-„Âbidîn, Cairo Mustafâ al-Bâbî al-Halabî wa Aulâdih, 1337 H. -. Mi‟râj al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟âdah, 1924. -. Misykât al-Anwâr. Cairo al-Dâr al-Qaumiyah, 1964. -. Mukâsyafah al-Qulûb. Cairo „Abd al-Hamîd Ahmad Hanafi, -. al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981. -. Raudah al-Tâlibîn wa „Umdah al-Sâlikîn. Mesir Matba‟ah al-Sa‟adah, 1924. -. Tahâfut al-Falâsifah. Mesir Dâr al-Fikr, Mahmud, „Abd al-Halim. Qadhiyah al-Tahsawwuf al- Munqiz min al-Dalâl. Mesir Dâr al-Kutub al-Haditsah, Mubarak, Zakî, al-Akhlâq „ind al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1968. Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta UI-Press, 1982. ASMARAN AS Menuju Ma‟rifatullah -. Falsafah & Mistisisme dalam Islam. Jakarta Bulan Bintang, 1973. Nicholson, Reynold A. The Idea of Personality in Sufism. Delhi Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1967. ________________. The Mystics of Islam. London Routledge and Kegan Paul, 1975. -. Studies in Islamic Mysticism. London Cambridge University Press, 1921. Rāziq, Abū Bakr „Abd al-. Ma‟a al-Ghazāli fī Munqidzihi min al-Dalāl. Cairo al-Dār al-Qaumiyah, Taftāzānī, Abū al-Wafā‟ al-Ghanīmī, al-. Madkhal ilā al-Tahsawwuf al-Islāmī. Cairo Dār al-Saqāfah li al-TIbā‟ah wa al-Nasyr, 1979. Zwemer, Samuel M.. A Moslem Seeker after God. New York Fleming H. Revell Company, 1920. Studia Insania Vol. 4, No. 1 M. Kharis MajidWinda RoiniAzmi Putri Ayu WardaniMaulida Hasyyah SabrinaPandemic COVID-19 has led to a sharp decline in the economic aspect, educational activities considered less effective, and difficulty performing worship. As a result, people's anxiety has increased dramatically. This study aims to reveal the urgency of spiritual healing in the life of the community during the Pandemic COVID-19 to answer the challenges of how effective it is in tackling the crucial erosion of spirituality amid society. This article is library-based research, and the data were gathered using documentary approaches. With the descriptive analysis approach, using al-Ghazālī's idea of Ma'rifatullāh, this study found that Ma'rifatullāh, through self-recognition, will lead someone to a more peaceful and calmer situation. Its position as a centre of spiritual healing in Taṣawwuf teachings is very effective in overcoming the crisis experienced by the community during the pandemic. Thus, the anxiety and worldly concerns will transform into peace and This article reveals that self-tranquillity and peace are sometimes not dealing with worldly affairs. Instead, it is about spiritual things. However, many tend to forget that the root of their tranquillity is found in the spiritual Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, IhyâSulaimân DunyâSulaimân Dunyâ, " Al-Ghazâlî Yabhats " an al-Ma " rifah, " dalam al-Ghazâlî, Mîzân al-" Amal Mesir Dâr al-Ma " ârif, 1964, 14. 14 Abû Bakr " Abd al-Râziq, Ma " a al-Ghazâlî fî Munqidzihi min al-Dhalâl Cairo Al-Dâr al-Qaumiyah, 78-79. 15 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV Dâr al-Fikr, Beirut, 302. 16 Abû Hamîd al-Ghazâlî, Ihyâ " " Ulûm al-Dîn, IV, Hidup Imam Al-GhazaliZainal AhmadAbidinAhmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali. Jakarta Bulan Bintang, Account of the Mystics of IslamUnwin Paperbacks Azim Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-SyuA J ArberrySufismArberry, Sufism An Account of the Mystics of Islam. LondonUnwin Paperbacks, 1973. " Azim, " Ali " Abd al-. Falsafah al-Ma " rifah fi al-Qur " ân al-Karîm. Cairo al-Hai " ah al-Âmmah li al-Syu " ûn wa alMathâbi " al-Misiryah, al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-GhazâlîVictor BasilSaidBasil, Victor Said. Manhaj al-Bahs "an al-Ma"rifah "inda al-Ghazâlî. Beirut Dâr al-Kitâb al-Lubnânî, al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârfBasyûnî IbrahîmNasyBasyûnî Ibrahîm. Nasy " ah al-Tasawwuf al-Islâmî. Cairo Dâr al-Ma " ârf, fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârifSulaimân DunyâDunyâ, Sulaimân. Al-Haqîqah fi Nazri al-Ghazâlî. Cairo Dâr al-Ma"ârif, al-Ghazâlî wa Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr alMuhammad FayûmîFayûmî, Muhammad Ibrâhîm al-. al-Imâm al-Ghazâlî wa " Alâqaha al-Yaqîn bi al-" Aql. Cairo Dâr al-Fikr al" Arabî, " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-MisiriyahMuhammâd GhallâbMaGhallâb, Muhammâd. al-Ma " arifah " inda Mufakkirî al-Muslimîn. Cairo al-Dâr al-Misiriyah, Hamîd al-al-Adab fi al-DînGhazâlîGhazâlî, Abû Hamîd al-al-Adab fi al-Dîn. Beirut al-Maktabah al-Syu " biyah, al-Munqiz min al-Dalâl. Turkey Hakikat Kitabevi, 1981.

pertanyaan tentang ma rifatullah